Minggu, 18 Juni 2017

Strategi Penanganan Perambahan di Kawasan Konservasi


A. Latar Belakang
Selama 50 tahun terakhir hutan Indonesia telah berkurang penutupan hutannya sekitar 25-40 % (40-60 juta ha). Kondisi tersebut disebabkan karena terjadinya eksploitasi hutan yang tidak memperhatikan aspek kelestarian hutan, menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, kepunahan jenis flora dan fauna, konflik sosial, hilangnya pendapatan pemerintah, dan kegagalan untuk mempertahankan sumber daya alam untuk generasi mendatang. Hal ini terjadi karena berbagai faktor dengan penyebab utamanya antara lain penebangan liar, perambahan hutan dan kepentingan pembangunan non kehutanan.
Sejak tahun 1998 laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,83 juta ha per tahun. Tingginya laju kerusakan hutan menjadi isu penyebab bencana alam berupa banjir, erosi, dan tanah longsor yang akhir-akhir ini sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.  Isu mengenai penyebab bencana tersebut banyak dikaitkan dengan aktivitas manusia yang berakibat terjadinya ketidakseimbangan ekosistem, antara lain disebabkan adanya perambahan dan penggundulan hutan yang sulit dikendalikan di bagian hulu daerah aliran sungai. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan secara preventif dan represif, namun belum berjalan optimal.
Kawasan konservasi sebagai benteng terakhir hutan kita juga tidak terhindar dari ancaman gangguan perambahan hutan. Hal inilah yang mendasari perlunya strategi penanganan perambahan di kawasan konservasi.


B. Penyebab Perambahan Hutan
Perambahan hutan adalah kegiatan usaha tani atau mengambil hasil hutan dari dalam kawasan hutan secara tidak sah yang mengakibatkan kerusakan hutan yang dilakukan oleh setiap orang atau badan usaha.  Hal ini berarti  segala bentuk kegiatan yang dilakukan masyarakat tanpa izin pemerintah) di areal hutan yang dianggap pemerintah sebagai hutan cagar alam, hutan konservasi, hutan produksi dan hutan lindung akan dianologikan sebagai pelanggaran terhadap peraturan pemerintah.
Andono (2003) menuliskan bahwa perambahan hutan merupakan sebuah bentuk akibat dari berbagai macam faktor penyebab yang sangat komplek baik itu dari dalam (internal) maupun faktor dari luar (eksternal), faktor-faktor penyebab ini saling mempengaruhi hingga membentuk lingkaran setan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Faktor –faktor penyebab ini dapat di jabarkan sebagai berikut:
a. Terjadinya krisis ekonomi dan krisis politik memicu timbulnya ancaman dan gangguan hutan secara umum yang dilakukan oleh masyarakat/oknum secara massal, sporadis, brutal dan sifatnya sudah mengancam kelestarian kawasan konservasi.
b. Tingkat ekonomi masyarakat desa yang tidak mencukupi kehidupan sehari-hari, dan tidak mengoptimalkan manfaat hutan secara lestari, pemikiran yang pendek tentang manfaat hutan seperti penebangan liar, perambahan membuat mereka terperosok kedalam pemikiran kekinian saja tidak terpikir untuk masa depan Keluarga Sejahtera.
c. Krisis politik yang terjadi berdampak ketidak percayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah, sehingga menghambat dalam pengamanan dan perlindungan hutan di Kawasan Konservasi . Selain itu kondisi aparat/oknum yang ada baik dari unsur pemerintahan, maupun pihak keamanaan juga sangat melemahkan kondisi keamanaan tersebut.
d. Kondisi alam yang tidak proporsional dengan jumlah Polhut, peralatan pengamanan (sarana prasarana).
e. Adanya aktor intelektual di belakang aksi-aksi tersebut, seperti adanya pemodal yang mampu memodali perambahan tersebut, bahkan banyak LSM-LSM yang menjajikan bantuan kepada para perambah dalam bentuk kridit, dana hibah dan lain sebagainya.
f. Adanya program pemerintah yang memicu perambahan sebagai dampak pelaksanaan dilapangan yang kurang baik (KUT).
g. Adanya pemukiman di sekitar kawasan, semakin besar jumlah penduduk disekitar kawasan kan menimbulkan dampak yang sangat besar terhadap keutuhan kawasan. Kondisi ini sangatlah pelik untuk di selesaikan mengingat banyaknya instansi yang terkait terutama Pemda setempat.
h. Sulitnya koordinasi dengan pihak terkait mengingat perbedaan tingkat jabatan struktural .
i. Sarana informasi dan transportasi yang sangat terbatas sehingga penyebaran informasi menjadi terhambat, padahal informasi yang cepat dan tepat merupakan kunci pokok didalam pengamanan kawasan konservasi. Sementara Informasi dikalangan perambah sangat cepat baik dari segi cara-cara/teknis perambahan hingga dalih bila di tertibkan hampir sama.
j. Perbedaan presepsi didalam pengelolaan kawasan konservasi diantara para pejabat terkait (Pemda/Dinas , Kepolisian, Militer, maupun Departemen lainnya).
k. Adanya perbedaan Kepentingan, perbedaan Tata Nilai, serta Perbedaan Pengakuan terhadap kawasan konservasi oleh seluruh para pihak yang terlibat baik masyarakat, pengusaha, pemerintah daerah, kepolisian dan lain sebagainya.
l. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti, peranan, dan manfaat kawasan konservasi bagi sistem penyangga kehidupan, ilmu pengetahuan, kekayaan keanekaragaman hayati, hidroorologis, bahkan paru-paru dunia.
m. Perlu dana yang cukup besar dan berkelanjutan serta waktu yang panjang untuk program-program seperti penyuluhan, sosialisasi, hukum (penyidikan hingga putusan pengadilan), pemberdayaan masyarakat Karena selain mengusir para perambah juga harus merubah cara pandang/pola pikir terhadap kawasan konservasi.
n. Perlunya Keterlibatan yang aktif, partisipatif, dan kolaboratif serta intensif seluruh Dinas-Dinas yang ada di Pemerintahan Kabupaten dan Instasi terkait lainnya dalam mencari jalan keluar permasalahan perambahan ini, Permasalahan ini tidak akan pernah selesai bila hanya dipikirkan dan dikerjakan secara sepihak maupun sendiri sendiri oleh pengelola hutan karena keterbatasan wewenang (non teknis) dan teknis.

C. Kondisi Saat Ini
Ditjen PHKA melalui UPTnya Balai TN dan Balai KSDA  wajib melakukan pengelolaan di tingkat lapangan. Ini mandat yang disebutkan dalam UU No.5 tahun 1990. Namun sampai dengan saat ini, mandat tersebut belum diterjemahkan ke dalam ”bahasa teknis” pengelolaan oleh seluruh UPT, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya.
Belum terjemahkannya pengelolaan di tingkat lapangan dalam bahasa teknis mengakibatkan intensitas gangguan semakin meningkat di kawasan konservasi yang notabene menjadi benteng terakhir hutan kita.  Pengabaian pengelolaan di tingkat lapangan dalam waktu yang lama mengakibatkan :
a. Perkembangan persoalan dan potensi kawasan di tingkat lapangan tidak pernah diketahui dengan pasti. Misalnya siapa dan berapa luas kawasan yang merambah per satuan waktu tidak pernah diketahui. Apabila kondisi akut ini terjadi untuk waktu yang lama, maka dapat dipastikan bahwa skala persoalan menjadi sedemikian besar, sehingga kawasan dikuasai kelompok-kelompok terorganisir itu, dan petugas semakin tidak berani memasuki kawasannya selama bertahun-tahun. Proses ini disebut sebagai sebagai proses ”pembiaran”. Berkonotasi negatif seolah-olah terjadi kesengajaan dari pihak pengelola untuk tidak berbuat apapun, dan dalam beberapa kasus, terkesan ”sengaja” menutupi persoalan tersebut. Perambahan di beberapa kawasan konservasi yang semakin tidak terkendali, merupakan buah dari proses pembiaran yang lama. Sistem pemantauan kawasan yang efektif tidak atau belum dibangun di tingkat lapangan. Demikian pula sistem ini belum dibangun di tingkat pusat hingga saat ini.
b. Di pihak lain, ketika sistem penataan dan pemantauan perambahan/kerusakan di lapangan tidak dibangun dengan konsisten, di mata penegak hukum-polisi, jaksa, pengadilan, kita juga bisa dan seringkali dinilai tidak serius. Kita disalahkan karena punya kawasan tidak dikelola, dijaga, dan dipantau. Ketika persoalan menjadi semakin tidak terkendali, baru dilakukan penegakan hukum. Dalam kondisi pengelolaan yang seperti ini, maka pengelolaan kawasan konservasi masih diwarnai dengan sikap yang reaktif. Ketika terjadi persoalan, baru dilakukan upaya represif dan penegakan hukum, dengan meminta bantuan Kepolisian, Kejaksaaan, dan Pengadilan. Oleh karena itu, komitmen jangka panjang dengan jajaran penegak hukum tersebut harus dibangun agar hukum dapat ditegakkan di lapangan. Proses hukum juga tidak hanya terbatas pada P-21, tetapi harus dipantau dan dikawal sampai putusan pengadilan yang tetap.
c. Ketiadaan petugas di lapangan, juga mengakibatkan tanda atau pal batas kawasan konservasi dan tujuan pengelolaan kawasan konservasi tidak (cukup) difahami dan diakui oleh masyarakat. Dengan demikian, maka jangan harap kita akan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Sementara itu, pengelola mengetahui bahwa dengan keterbatasan dana, sarana prasarana, dan luasnya kawasan yang harus dikelola, maka hampir mustahil mampu melakukan pengelolaan secara soliter tanpa dukungan dari masyarakat, kelompok swadaya masyarakat, Pemda, lembaga swadaya masyarakat, swasta, atau mitra lainnya.
d. Akumulasi dan resultante dari ketiga aspek tersebut di atas, maka kerusakan semakin meluas, sampai pada skala yang hampir sedemikian besar untuk ditangani oleh UPT dalam beberapa tahun ke depan. Contoh di kawasan TN.Tesso Nilo, kecepatan okupasi untuk penanaman sawit adalah seluas 1.990/tahun pada periode 2005-2007, dengan total perambahan di 2007 seluas 5.727 Ha. Sebagian besar perambah sebanyak 1.652 KK atau 89,7% yang menduduki TN Tesso Nilo berasal dari wilayah perbatasan Riau-Sumatera Utara. Kecepatan perluasan perambahan di areal calon perluasan TN Tesso Nilo, di eks areal HPH PT Nanjak Makmur sebesar 2.191 Ha/tahun. Gambaran kasus ini cukup sebagai alasan pembenar bahwa harus dilakukan upaya-upaya yang lebih terstruktur, sistematis, dan konsisten dalam menyelesaikannya.

D. Kondisi yang Diinginkan
Mensikapi perkembangan pembangunan di berbagai bidang selama 30 tahun terakhir yang telah berdampak pada perubahan-perubahan besar pada pola penggunaan lahan, antara lain untuk perkebunan skala besar terutama sawit, pembangunan jaringan jalan, pertambangan, pertumbuhan kota-kota baru, lahirnya banyak kabupaten dan provinsi baru, maka harus disusun strategi pengelolaan kawasan konservasi yang berbasiskan pada kawasan, pada teritorial. Strategi tersebut antara lain :
1. Konsep pemangkuan dan pengelolaan kawasan konservasi ini harus diterjemahkan ke dalam bahasa teknis dan didukung dengan kajian ilmiah yang memadai, dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan yang lebih fokus, efektif, sesuai skala prioritas, dan bermanfaat.
2. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan konservasi harus dilakukan secara efektif dengan memanfaatkan teknologi GIS/Remote Sensing, yang didukung oleh Team Reaksi Cepat, dan Team Kerja di Tingkat Resort, untuk melakukan crosscheck, pemetaan persoalan dan pemetaan potensi kawasan, mengembangkan tipologi persoalan dan tipologi potensi, dan opsi solusi persoalan dan pengembangan potensi di tingkat lapangan.
3. Membangun sistem kerja kolaboratif dan perencanaan bottom-up berbasis resort dalam mendukung tujuan pengelolaan, yang ditetapkan dalam Visi dan Misi pengelolaan kawasan konservasi.
4. Membangun berbagai inisiatif kolaborasi multipihak di berbagai level dalam rangka meningkatkan komunikasi dan pembelajaran dan ”platform” atau Agenda Bersama terhadap peneyesaian masalah dan pengembangan potensi.
5. Membangun kapasitas dan kapabilitas ”leadership” di seluruh tingkatan jabatan struktural maupun fungsional, melalui proses pembelajaran multipihak.
6. Membangun dukungan kebijakan di tingkat nasional dari jajaran Departemen Kehutanan (lintas Eselon I), Departemen terkait lainnya, maupun mitra kerja Ditjen PHKA dan mitra kerja Departemen Kehutanan.

E. Penanganan Perambahan di Kawasan Konservasi
Mensikapi latar belakang, penyebab terjadinya perambahan, kondisi saat ini dan kondisi yang diinginkan, minimal dalam periode 5 tahun ke depan (2009 – 2014)  telah diusulkan strategi penanganan perambahan di kawasan konservasi sebagai berikut :
1. Tingkat Nasional
a. Pada tataran nasional, kawasan-kawasan konservasi telah dimasukkan ke dalam Tata Ruang Nasional.  Peta Dasar Tematik Kehutanan (peta penunjukan yang diperbaharui) secara bertahap per-propinsi yang sudah dideklarasi oleh Menteri Kehutanan, perlu segera dijadikan dasar atau acuan bagi sektor lain untuk menetapkan Tata Ruang Pulau.
b. Penataan dan penjagaan kawasan konservasi. Proses penataan ini ditujukan untuk menata kawasan konservasi menjadi unit-unit pengelolaan sampai dengan tingkat lapangan atau unit-unit pengelolaan kawasan : dari Seksi Wilayah sampai dengan Resort.
c. Ditjen PHKA mendorong dan memfasilitasi diterbitkannya INPRES Penanganan perambahan di kawasan konservasi.  Instruksi Presiden ini akan melibatkan lintas departemen/lembaga untuk penyelesaian perambahan di kawasan hutan maupun di kawasan konservasi.  INPRES ini akan dijadikan dasar bagi pemerintah propinsi dan atau pemerintah kabupaten bersama-sama dengan UPT Ditjen PHKA, menyiapkan TIM Terpadu Penanggulangan perambahan di kawasan hutan dan di kawasan konservasi. Direktorat Konservasi Kawasan sedang memproses usulan INPRES ini dalam tahun 2010.
2. Tingkat Kementerian Kehutanan
Penataan kawasan konservasi perlu di dukung dengan data dan informasi spasial dan non spasial yang akurat dan up to date.  Data dan informasi ini bukan hanya di masing-masing kawasan konservasi tetapi juga kondisi penggunaan lahan dan penutupan lahan kawasan penyangga di sekitarnya.
Direktorat Konservasi Kawasan, khususnya Subdit Pemolaan dan Pengembangan dan Subdit PIKA akan menjadi Lead Agency dalam mengembangkan laboratorium GIS/Remote Sensing untuk membangun sistem penataan kawasan dan sistem monitoring dan evaluasi kawasan konservasi.  Kedua Subdit ini akan bekerja intensif dan terpadu dengan bagian program anggaran dan bagian evaluasi-Setditjen PHKA dan Direktorat PPH.
Tim yang bekerja pada laboratorium GIS/Remote Sensing Ditjen PHKA akan membantu dan memfasilitasi UPT untuk melakukan penataan kawasan menuju pengelolaan sebagai KPH Konservasi, termasuk dalam rangka membangun Sistem Pemantauan Perambahan Kawasan Konservasi dan membangun database kawasan.
Ada 30 UPT yang dipilih sebagai Pilot Project 2010 dengan kriteria : Status Internasional (World Heritage Site, Cagar Biosfer, Ramsar), status KPH Konservasi, Kejelasan Lokasi Perambahan, Kesiapan Data Primer UPT, Kesiapan Data Sekunder di Pusat, Upaya Penanganan dari UPT, Kesiapan SDM dan Peralatan dan Dukungan Mitra di tingkat UPT.
Untuk itu, telah terbit Keputusan Dirjen PHKA Nomor: SK.35/IV-KK/2010 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Penanganan Perambahan di KSA dan KPA.  Sebagai tindak lanjutnya, telah diterbitkan Surat Edaran Dirjen PHKA Nomor. S.200/IV-KK/2010 tanggal 26 April 2010, yang meminta seluruh UPT Ditjen PHKA melakukan pemantauan perambahan di KSA dan KPA berbasis penginderaan jauh (Wiratno, 2010).
3. Tingkat UPT
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Kawasan Konservasi Nomor: S.200/IV-KK/2010, setiap UPT diperintahkan untuk membangun TIM GIS/RS untuk mendukung pemantauan perambahan secara spasial, tetapi sekaligus juga menyiapkan bahan dalam rangka penataan kawasan berbasis resort.  Laboratorium GIS/RS ini akan menghasilkan data/informasi spasial dan mendasar yang akan dijadikan bahan bagi “Tim Penanganan Perambahan”.  Tim ini bertugas untuk melakukan pemetaan sejarah persoalan-persoalan kawasan, pemetaan biofisik dan sosek budaya, dengan capaian akhir ditetapkannya Tipologi Perambahan, Tipologi Resort dan Tipologi Daerah Penyangga.

F. Penutup
Implementasi Strategi penanganan perambahan hutan di Kawasan Konservasi akan mantap apabila pengelolaan di tingkat lapangan sebagai ujung tombak semakin diperkuat.  Implementasi strategi ini adalah Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort.

PUSTAKA

Andono, Ardi, 2003. Penanganan Gangguan Keamanan Hutan di Wilayah Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat II http://www.student. Unimaas.nl/a.andono/mklhpjrhn2003.pdf. Diakses 20 Januari 2010 Jam 10.30 Wita.
Wiratno, Ir., M.Sc., 2010.  Arah Pengelolaan Kawasan Konservasi Ke Depan.  Makalah Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar.  Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Wiratno, Ir., M.Sc., 2010a.  Penataan Kawasan Konservasi Menuju Pengelolaan Berbasis Resort.  Makalah Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar.  Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar