Minggu, 18 Juni 2017

Diklat Fungsional dan Uji Kompetensi Polhut Fungsional

Diklat Fungsional dan Uji Kompetensi Polhut Fungsional 
Oleh :  Sudirman Sultan, SP., MP.

Abstract:
The pattern of the functional Forest Rangers position career required functional training and competency testing.  Functional training and competency testing is one of the requirements that must be filled if Forest Rangers will rise to a higher level of the position was on the same level higher.

Keywords : Career, Forest Rangers, training and competency testing.
Abstrak :
Pola karir jabatan fungsional Polhut mempersyaratkan diklat fungsional dan uji kompetensi.    Diklat fungsional dan uji kompetensi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi apabila Polhut akan naik ke jenjang jabatan setingkat lebih tinggi.
Kata Kunci : Karir, Polhut, Diklat dan Uji Kompetensi.

Polisi Kehutanan (Polhut) merupakan pejabat tertentu dalam lingkungan instansi Kehutanan Pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan/atau melaksanakan perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberikan wewenang kepolisian khususdi bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.  Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.75/Menhut-II/2014 tentang Polisi Kehutanan, Polhut terdiri dari Polhut Pembina, Polhut Fungsional dan Polhut Perhutani.
Polhut fungsional adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan instansi kehutanan Pusat dan daerah yang diangkat sebagai Pejabat Fungsional Polisi Kehutanan. Aturan khusus mengenai jabatan fungsional Polhut tertuang dalam Permenpan dan Reformasi Birokrasi  No. 17 Tahun 2011 tentang jabatan fungsional Polhut dan angka kreditnya.  Dalam aturan ini dijelaskan bahwa Polhut yang akan diusulkan kenaikan jabatannya setingkat lebih tinggi, maka Polhut tersebut wajib lulus uji kompetensi dan jabatan tertentu selain lulus dalam uji kompetensi juga mewajibkan lulus dalam diklat fungsional.   Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka kami tertarik untuk menulis mengenai diklat fungsional dan uji kompetensi Polhut Fungsional, dengan harapan agar pejabat fungsional Polhut yang membaca tulisan ini memahami kenaikan jabatan yang memprasyaratkan kelulusan diklat fungsional dan uji kompetensi.

Diklat Fungsional
Diklat Fungsional adalah  diklat yang memberikan pengetahuan dan/atau penguasaan ketrampilan di bidang tugas yang terkait dengan jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional.  Diklat Fungsional merupakan   diklat yang dilaksanakan untuk melengkapi persyaratan kompetensi sesuai jabatan fungsional masing-masing yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas jabatannya.
Diklat fungsional ini diselenggarakan dengan tujuan untuk :
a. meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatanya secara professional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kompetensi jabatannya.
b. memantapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat.
Diklat fungsional ini diharapkan dapat mewujudkan PNS yang profesional sesuai jenjang jabatan fungsional dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya. Berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara No. 15 Tahun 2011 tentang pedoman umum pembinaan penyelenggaraan diklat fungsional,  jenis diklat fungsional ini terdiri atas diklat pembentukan jabatan fungsional dan diklat fungsional berjenjang.
Diklat pembentukan jabatan fungsional merupakan diklat yang wajib diikuti oleh Polhut fungsional dan prasyarat  bagi PNS untuk diangkat dalam jabatan fungsional.  Diklat pembentukan Polhut wajib diikuti karena diklat ini akan memberikan pembekalan kompetensi inti yang diperlukan oleh seseorang pejabat fungsional Polhut.
Namun berdasarkan pasal 28 ayat  (3) dan (5) Permenpan dan Reformasi Birokrasi  No. 17 Tahun 2011 tentang jabatan fungsional Polhut dan angka kreditnya,  seseorang yang diangkat dalam formasi jabatan fungsional Polhut dapat diangkat dalam jabatan fungsional Polhut  sebelum mengikuti diklat pembentukan Polhut asal yang bersangkutan sudah lulus uji kompetensi.  Setelah diangkat dalam jabatan fungsional Polhut, paling lama 2 tahun setelah diangkat Polhut yang bersangkutan harus mengikuti dan lulus diklat dasar fungsional di bidang kepolisian kehutanan sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan oleh Instansi Pembina jabatan fungsional Polisi Kehutanan.
Hal tersebut diatas diperkuat dengan surat edaran Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Kehutanan No. S.40/P.09-4/2014 tanggal 27 Januari 2014 bahwa calon pejabat fungsional Polhut yang pengangkatannya melalui formasi CPNS yang sampai saat ini belum mengikuti diklat pembentukan fungsional, akan diterbitkan Surat Keterangan Pengganti Lulus Uji Kompetensi sebagai bahan pengangkatan dalam jabatan fungsional, sedangkan diklat pembentukan tetap menjadi kewajiban bagi yang bersangkutan dan harus dilakukan maksimal 2 tahun sejak diangkat sebagai pejabat fungsional.
Diklat fungsional berjenjang merupakan diklat yang disusun secara berjenjang sesuai dengan jenjang jabatannya yang dipersyaratkan untuk pengangkatan dalam jenjang jabatan fungsional setingkat lebih tinggi. Diklat fungsional berjenjang bagi jabatan fungsional Polhut sesuai dengan jenjang jabatannya dikelompokkan dalam diklat jenjang fungsional keterampilan dan keahlian.  Diklat jenjang fungsional keterampilan terdiri dari :
a. Penjenjangan fungsional polhut terampil jenjang pelaksana
b. Penjenjangan fungsional polhut terampil jenjang pelaksana lanjutan
c. Penjenjangan fungsional polhut terampil jenjang penyelia.
Sedangkan diklat jenjang fungsional keahlian terdiri dari :
a. Penjenjangan fungsional polhut ahli jenjang muda
b. Penjenjangan fungsional polhut ahli jenjang Madya
Diklat fungsional berjenjang yang merupakan prasyarat untuk  kenaikan jabatan adalah jenjang Madya, selain dari itu dapat diikuti tetapi tidak menjadi prasyarat kenaikan jabatan.  Hal ini sesuai Pasal 32 ayat (1) dan (2) Permenpan dan Reformasi Birokrasi  No. 17 Tahun 2011 tentang jabatan fungsional Polhut dan angka kreditnya, dimana dalam aturan ini dinyatakan bahwa Polhut yang akan naik jabatan setingkat lebih tinggi dapat  mengikuti dan lulus  diklat sesuai dengan jenjang jabatan, dan khusus kenaikan jabatan dari jenjang  Muda menjadi jenjang Madya  wajib mengikuti dan lulus diklat penjenjangan Madya.
Khusus Polhut  terampil yang memperoleh ijasah Sarjana (S1)/Diploma IV dapat diangkat dalam jabatan Polisi Kehutanan Ahli.  Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh Polhut Terampil yang akan diangkat dalam jabatan Polhut Ahli adalah lulus diklat keahlian yaitu diklat alih tingkat dari polhut terampil ke polhut ahli.

Uji Kompetensi
Uji kompetensi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh Polhut fungsional, baik dalam pengangkatan jabatan fungsional, perpindahan jabatan maupun perpindahan dari tingkat terampil ke ahli.  Hal ini sesuai dengan Permenpan dan Reformasi Birokrasi  No. 17 Tahun 2011 tentang jabatan fungsional Polhut dan angka kreditnya, yaitu pada :
a. Pasal 28 ayat (3) dinyatakan bahwa PNS yang akan diangkat pertama kali dalam jabatan fungsional Polhut terampil maupun Polhut ahli harus lulus uji kompetensi.
b. pasal 31 ayat (1) dinyatakan bahwa Polhut yang akan naik jenjang jabatan setingkat lebih tinggi, yang bersangkutan harus mengikuti dan lulus uji kompetensi.
Uji kompetensi adalah proses penilaian baik teknis maupun non teknis melalui pengumpulan bukti yang relevan untuk menentukan seseorang kompeten atau belum kompeten pada suatu unit kompetensi atau kualifikasi tertentu. Sedangkan kompetensi adalah kemampuan kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja sesuai dengan standar yang ditetapkan.  Berdasarkan pasal 69 ayat 3 Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, kompetensi terdiri dari :
a. kompetensi  teknis yang diukur dari tingkat dan  spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis;
b. kompetensi manajerial yang diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan  struktural  atau manajemen, dan pengalaman kepemimpinan; dan
c. kompetensi sosial kultural yang diukur dari  pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan.
Dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 8 Tahun 2013 tentang Pedoman perumusan standar kompetensi teknis PNS, kompetensi teknis  adalah kemampuan kerja setiap PNS yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang mutlak diperlukan dalam melaksanakan tugas-tugas jabatannya.  Pengetahuan kerja meliputi pengetahuan yang dimiliki PNS berupa fakta, informasi, keahlian yang diperoleh seseorang melalui pendidikan dan pengalaman, baik teoritik maupun pemahaman praktis dan berbagai hal yang diketahui terkait dengan pekerjaannya, serta kesadaran yang diperoleh  melalui pengalaman suatu fakta atau situasi dalam konteks pekerjaan.
Keterampilan kerja meliputi keterampilan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, yaitu :
a. keterampilan melaksanakan pekerjaan individual (task skill),
b. keterampilan mengelola sejumlah tugas yang berbeda dalam satu pekerjaan (task management skill),
c. keterampilan merespon dan mengelola kejadian / masalah kerja  yang berbeda (contingency management skill),
d. keterampilan khusus yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu di tempat tertentu sesuai dengan tuntutan lingkungan kerja (job/role environment skill), dan
e. keterampilan beradaptasi dalam melaksanakan pekerjaan yang sama di tempat / lingkungan kerja yang berbeda (transfer skills).
Sedangkan sikap kerja meliputi perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi berupa minat, sikap, apresiasi dan cara penyesuain diri terhadap pekerjaan.
Dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 7 Tahun 2013 tentang Pedoman perumusan standar kompetensi manajerial PNS, kompetensi manajerial adalah soft competency yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai tugas dan atau fungsi jabatan.  Kompetensi manajerial ini meliputi integritas (integrity), kemampuan menghadapi perubahan (ability to change), perencanaan yang terorganisasi (planning organizing), kepemimpinan (leadership), kemampuan mempengaruhi orang lain (influencing others), kemampuan berkomunikasi (communication skills), kemampuan bekerjasama (teamwork) dan kemampuan membangun relasi (relationship building).
Kompetensi tersebut diatas merupakan materi uji kompetensi.  Untuk mempermudah dalam pelaksanaan uji kompetensi maka diperlukan adanya standar kompetensi jabatan fungsional Polhut.  Standar kompetensi ini merupakan instrument dalam penyusunan  materi uji kompetensi dan penyusunan kurikulum diklat berbasis kompetensi.
Draft standar kompetensi jabatan fungsional Polhut telah disusun dan menunggu pengesahan dalam bentuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai kementerian yang membina jabatan fungsional Polhut saat ini.  Apabila standar kompetensi ini sudah disahkan, maka syarat kelulusan uji kompetensi mutlak sudah berlaku untuk setiap perpindahan jabatan fungsiona Polhut satu tingkat lebih tinggi.
Berdasarkan uraian diklat fungsional dan uji kompetensi jabatan fungsional Polhut sebagaimana tersebut diatas maka jelaslah bahwa :
a. diklat pembentukan Polhut sebagai diklat dasar,  wajib diikuti oleh Polhut maksimal 2 tahun setelah pengangkatan dalam jabatan fungsional Polhut.
b. setiap Polhut yang akan pindah jabatan ke Polhut Madya, wajib lulus diklat penjenjangan Polhut Madya.  Sedangkan diklat penjenjangan lainnya dapat dikuti, tetapi tidak menjadi persyaratan wajib.
c. setiap Polhut tidak bisa diangkat dalam jabatan fungsional polhut dan tidak bisa pindah jabatan setingkat lebih tinggi  jika Polhut tersebut belum lulus dalam uji kompetensi.  Peraturan mengenai standar dan uji jabatan fungsional Polhut akan dituangkan lebih lanjut dalam sebuah peraturan menteri.

Pustaka :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 17 Tahun 2011 tentang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan dan Angka Kreditnya.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.75/Menhut-II/2014 tentang Polisi Kehutanan
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara No. 15 Tahun 2011 tentang pedoman umum pembinaan penyelenggaraan diklat fungsional
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 7 Tahun 2013 tentang Pedoman perumusan standar kompetensi manajerial PNS
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 8 Tahun 2013 tentang Pedoman perumusan standar kompetensi teknis PNS.


ASPEK SPIRITUAL ”RESORT BASED MANAGEMENT”

ASPEK SPIRITUAL ”RESORT BASED MANAGEMENT”
Oleh : Sudirman Sultan, SP., MP.


“Benarkah RBM bisa diterapkan ?”

Resort Based Management (RBM) merupakan salah satu kebijakan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang ditargetkan dapat diimplementasikan disemua UPT Taman Nasional pada Tahun 2014.  Kebijakan ini selalu kami sampaikan setiap membawakan materi kebijakan Kementerian Kehutanan.  Saat menyampaikan materi pembelajaran mata diklat kebijakan bidang PHKA pada salah satu diklat, salah seorang peserta menyampaikan tanggapannya bahwa RBM hanya “MIMPI” bagi kami petugas lapangan. Hal tersebut tentu saja perlu mendapat perhatian khusus dan tantangan untuk membuktikan bahwa RBM tidak hanya sebatas “MIMPI”, tapi dapat diimplementasikan seperti di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Karimun Jawa.
 Pada saat sosialisasi RBM di Makassar Tahun 2010, Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo menutup presentasinya dengan mengatakan bahwa “RBM ini hanya bisa berjalan apabila ada dukungan dari Kepala Balai Taman Nasional”.  Pernyataan ini tentu saja menjadi pertanyaan bagi siapapun yang mendengarnya untuk mengetahui “Aspek utama berjalannya RBM di Taman Nasional Alas Purwo dan itu bukan MIMPI”.
 
Fenomena Resort
Resort merupakan jabatan non struktural yang dibentuk dengan keputusan Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional (Pasal 31 P.03/Menhut-II/2007).  Didalam sebuah taman nasional terdapat beberbagai struktur yang diduduki oleh berbagai tingkatan jabatan sampai dengan staf dilapangan. Resort merupakan garda terdepan dalam sebuah pengelolaan taman nasional. Atasan langsung dari resort adalah Kepala Seksi. Orang-orang yang berada di resort harus berhubungan langsung dengan masyarakat, baik itu masyarakat yang tinggal didalam atau disekitar taman nasional, maupun masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan illegal didalam sebuah kawasan taman nasional, seperti berburu satwa, illegal loging, perambahan dan pencurian tumbuh-tumbuhan langka yang dilindungi.
Bila mencermati hal tersebut diatas, begitu rumit dan kompleksnya sebuah manajemen di taman nasional. Bagaimana sebuah kebijakan seolah-olah saling menunggu. Kebijakan dalam sebuah taman nasional tergantung oleh Kepala Balai dan seorang Menteri Kehutanan. Seorang Kepala Seksi dan Kepala Resort serta staf-nya tidak bisa berbuat apa-apa jika sang pimpinan tidak memberikan instruksi. Dalam hal pengamanan kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab petugas resort, resort tidak bisa berbuat banyak.  Karena kewenangan dan pengelolaan anggaran berada di tingkat Balai.  Pengelolaan ini  tidak akan efektif  mengingat luasnya kawasan hutan yang dikelola dan banyaknya permasalahan gangguan terhadap kawasan hutan.
Olehnya itu dibutuhkan sebuah solusi yang cepat dalam pengelolaan taman nasional. Tingginya konflik di taman nasional dan masih sering terjadinya kegiatan-kegiatan illegal disebuah taman nasional membuat beberapa kalangan tidak mempercayai sistem taman nasional dalam upaya penyelamatan sebuah kawasan hutan. Manajemen kolaborasi dan pelibatan masyarakat didalam dan disekitar taman nasional harus diterapkan. Bagaimana masyarakat bisa hidup selaras dan serasi dengan kawasan hutan. Menikmati tinggal dikawasan hutan dan menjaga tempat tinggalnya dari kerusakan. Resort harus dilibatkan secara penuh dalam sebuah perencanaan, pelaksanaan dan monitoring sebuah kegiatan/program di taman nasional. Beri kepercayaan dan ruang gerak yang bebas untuk resort.
“Seksi dan Resort adalah ujung tombak didalam sebuah taman nasional. Biarkan mereka membuat program dan mengelola program tersebut. Baik program dari anggaran pemerintah maupun sumber dana yang lainnya. Karena mereka yang tahu situasi dan kondisi dilapangan. Kenapa disebuah taman nasional dibentuk seksi dan resort? Karena kepala balai tidak akan sanggup mengurusi semuanya. Seksi dan resort merupakan perpanjangan tangan kepala balai.  Kepala balai cukup mengevaluasi saja pekerjaan-pekerjaan mereka” ungkap Waldemar Hasiholan (Widyaiswara Pusdiklat Kehutanan) yang pernah menjadi Kepala Balai Taman Nasional dibeberapa taman nasional ketika kami melakukan praktek lapangan bersama di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.



Aspek Spiritual RBM
Untuk menerapkan RBM, maka RBM hendaknya diinterpretasikan tidak semata-mata sebagai tuntutan “Renstra Kementerian Kehutanan” tetapi merupakan hasil dari suatu proses “IQRA =  Membaca”.   Membaca dalam arti luas adalah membaca keseluruhan gejala yang terjadi disekitar kita yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam yang merupakan amanah bagi rimbawan.  Mengapa kita diminta membaca, tentu agar kita mau berfikir dan menggunakan akal dan nurani untuk memahami dan mengetahui isi serta manfaat dari alam ciptaan Tuhan ini. Interpretasi lanjutannya adalah, bahwa agar manusia tidak buta dan tidak terjebak pada suatu “kondisi” yang menyebabkan alam semakin rusak ditengah semakin bertambahnya rimbawan di bumi tercinta ini.
Hal inilah yang diterapkan di Taman Nasional Alas Purwo yaitu membaca fenomena yang terjadi di tingkat resort.  Proses membaca ini membutuhkan “Kecerdasan Emosional dan Spiritual” yang tinggi sehingga diperlukan kemauan dan tingkat keikhlasan yang tinggi dalam bekerja.  Ikhlas bukan berarti tanpa pamrih.  Tingkat kecerdasan dengan pemahaman “Ikhlas bukan berarti tanpa pamrih” inilah yang mampu membaca fenomena resort bahwa kegiatan resort telah menyimpang dari aturan yang sesungguhnya.
Untuk memperbaiki hal tersebut, dibutuhkan komitmen moral.  Komitmen moral hanya bisa dilaksanakan apabila yang akan mengajak komitmen memiliki kecerdasan spiritual dalam berkomitmen yaitu memiliki moral yang dapat menjadi contoh dan teladan.  Kecerdasan spiritual yang sudah built in dalam diri menjadi penyebab untuk berpikir melingkar, sehingga diperoleh solusi untuk menghitung “Penghasilan Minimal” dan “Tugas Minimal”
“Penghasilan Minimal” adalah penghasilan diluar gaji yang menjadi kebutuhan minimal petugas Resort yang menyebabkannya bekerja menyimpang dari aturan.  Penghasilan minimal ini dihitung dan didukung oleh pernyataan komitmen moral dari petugas resort dan pihak Balai.  “Penghasilan Minimal” ini berasal dari pelaksanaan “Tugas Minimal” Resort yang harus dikerjakan diluar dari tugas rutin yang menjadi tugas pokoknya.
Dengan adanya “Tugas Minimal” yang akan menghasilkan “Penghasilan Minimal” ini  menjadi motivasi tersendiri bagi petugas resort untuk bekerja di lapangan yaitu di tingkat resort.  Apabila personil resort bekerja dilapangan melaksanakan tupoksi dan tugas minimal yang menjadi kewajibannya, maka kita mulai mengetahui isi kawasan, memahami manfaatnya, dan akhirnya memanfaatkannya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Maka dalam konteks pemahaman seperti ini, RBM menjadi tugas mulai kita bersama. Dengan ilmu pengetahuan, data yang dihimpun, lalu dikelola dalam SIM RBM, yang diolah menjadi informasi, dan pengetahunan.    Dengan semakin lengkapnya data dan informasi, maka secara bertahap kita berhijrah dari era kegelapan menuju zaman terang bendarang. Masa depan seperti inilah yang kita harapkan terjadi, sehingga kawasan konservasi dapat dipertahankan untuk dikembalikan kepada generasi mendatang 100-500 tahun ke depan (dalam keadaan yang tidak terlalu rusak), karena kawasan konservasi hanya titipan anak cucuk kita yang saat ini belum lahir. RBM harusnya dilihat dalam konteks lintas generasi dan mandat Tuhan kepada manusia yang seperti itu.

RBM dan Tuntutan Renstra
RBM perlu dipahami tidak hanya sebagai “Tuntutan Renstra” tetapi merupakan amanah Tuhan Yang Maha Menciptakan untuk membangun kelembagaan pengelolaan yang memiliki kemampuan untuk mampu menghadapi tantangan yang berkembang dan potensi kawasan yang beragam dan dapat dikembangkan secara dinamis, sekaligus dapat melakukan adaptasi ke dalam dan keluar.  Hal ini tentu saja perlu tahapan proses yang diawali dengan tahapan “IQRA”, sehingga RBM  berjalan sesuai dengan tahapan proses yang terencana dan mantap.  Tidak spontanitas karena pemenuhan “Renstra”, dimana dari aspek data sudah RBM namun dari aspek manajemen sesungguhnya belum menerapkan RBM.
Berikut ini  ciri-ciri kelembagaan UPT yang telah menerapkan RBM adalah:
Antisipatif : dapat melakukan antisipasi munculnya berbagai persoalan.
Responsif : mampu melakukan tanggapan dengan cepat terhadap berbagai persoalan dan potensi yang dapat dikembangkan.
Inovatif : berani melakukan berbagai inovasi atau terobosan  menghadapi persoalan internal dan eksternal.
Adaptif : mampu melakukan penyesuaikan strategi, taktik, dan mobilisasi sumberdaya dalam merespon beragamnya perubahan situasi dan kondisi yang akan berdampak pada kelestarian kawasan dan fungsinya.
Transparan : berani melakukan perubahan paradigma menjadi lebih terbuka dan melibatkan berbagai pihak kunci dalam “siklus manajemen”.
Akuntabel : memenuhi kaidah-kaidah tertib administrasi keuangan, tertib pelaporan, dan kualitas pekerjaan.
Menjadi Leading Agency  dalam penyusunan dan menerapkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
Berhasilnya dibangun leadership di berbagai tingkatan khususnya di lingkungan internal dan jaringan kerja ke lingkungan eksternal.
Terkelolanya berbagai persoalan dan potensi dengan lebih manusiawi dan memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip kelestariannya.
Memulai kesadaran (spiritual dan intelektual) tentang pentingnya  budaya “membaca” yang  didisain untuk mempercepat proses pemahaman dan penguasaan data, informasi, dan pengetahuan tentang kawasan dan isinya, termasuk kemanfaatannya bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.
RBM diharapkan berjalan sesuai dengan tahapan proses yang direncanakan sehingga  Resort sebagai unit manajemen terkecil menjadi kenyataan yaitu fungsi-fungsi manajemen ada ditingkat resort.  Dengan berfungsinya Resort sebagai Unit Manajemen Terkecil, diharapkan permasalahan-permasalahan kawasan hutan tidak semakin kompleks dan mengalami penurunan dari bentuk manajemen sebelumnya. (SS).

DIKLAT PEMBENTUKAN POLHUT MUBASSIR TANPA DUKUNGAN PEMDA

DIKLAT PEMBENTUKAN POLHUT
MUBASSIR TANPA DUKUNGAN PEMDA
Oleh : Sudirman Sultan, SP., MP.

Abstract :
Education and training formation of the Forest Rangers was mandatory training followed by PNS that will be appointed in the functional Forest Rangers position. So as to seem this education and training was not useful if PNS that followed, not occupy the  functional Forest Rangers position. He has to be a commitment from the local government, in this case forestry official in charge of the regency / city as technical Builders Forest Rangers in the district.

Abstrak :
Diklat Pembentukan Polhut merupakan diklat yang wajib diikuti oleh PNS yang akan diangkat dalam jabatan fungsional Polhut.  Sehingga terkesan diklat ini mubassir jika PNS yang telah mengikuti diklat ini tidak menduduki jabatan fungsional Polhut. Olehnya itu perlu komitmen dari pemerintah daerah, dalam hal ini dinas yang membidangi kehutanan di Kabupaten/Kota selaku Pembina teknis Polisi Kehutanan di daerah.

Polisi Kehutanan adalah Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungan instansi Kehutanan Pusat dan Daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa Undang-Undang diberikan wewenang kepolisian khusus di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.  Dalam peraturan bersama Menteri Kehutanan Nomor NK.14/Menhut-II/ 2011 dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 31 Tahun 2011 tentang ketentuan pelaksanaan Permenpan dan Reformasi Birokrasi  No. 17 Tahun 2011 tentang jabatan fungsional Polisi Kehutanan dan Angka Kreditnya, pengangkatan PNS dalam jabatan fungsional Polisi Kehutanan harus mengikuti dan lulus diklat dasar fungsional di bidang kepolisian kehutanan sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan oleh instansi pembina jabatan fungsional Polisi Kehutanan.
Diklat dasar yang dimaksudkan diatas adalah Diklat Pembentukan Polisi Kehutanan.  Dalam Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 3 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Widyaiswara, yang dimaksud dengan Diklat Pembentukan adalah Diklat yang dipersyaratkan bagi CPNS atau PNS yang akan diangkat dalam jabatan Fungsional.
Namun dalam pelaksanaan diklat pembentukan Polisi Kehutanan di Balai Diklat Kehutanan Makassar sebanyak 33 Angkatan, terdapat pesertanya yang status kepegawaiannya bukan CPNS atau PNS, tetapi masih berstatus sebagai tenaga kontrak TPHL (tenaga pengamanan hutan lainnya).  Hal ini terjadi karena desakan dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan atau Dinas yang membidangi Kehutanan di Kabupaten/Kota yang membutuhkan tenaga pengamanan hutan terdidik dan beberapa daerah menjanjikan akan memperjuangkan dalam bentuk Formasi Khusus.
Jika memperhatikan beberapa TPHL pada instansi pemerintah daerah yang telah mengikuti Diklat Pembentukan Polisi Kehutanan di Balai Diklat Kehutanan Makassar, maka sebagian besar belum mendapatkan formasi CPNS.  Hal ini menimbulkan masalah baru sehingga dalam sebuah Rakorbang Diklat, Kepala Pusat Diklat Kehutanan mengintruksikan agar Balai Diklat Kehutanan tidak menerima calon peserta diklat pembentukan Polhut yang masih berstatus kontrak/TPHL.  Olehnya itu, sejak tahun 2010 di Balai Diklat Kehutanan Makassar tidak menerima lagi calon peserta yang masih berstatus kontrak/TPHL.
Alumni diklat yang berstatus sebagai CPNS/PNS ditemukan juga sebagian besar belum menduduki jabatan fungsional Polisi Kehutanan. Hal ini tidak semata-mata disebabkan oleh faktor individu Polhut, namun disebabkan oleh faktor eksternal Polhut, seperti kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam pengangkatan jabatan fungsional Polisi Kehutanan dan kurangnya pengetahuan mengenai prosedur pengangkatan PNS dalam jabatan fungsional Polisi Kehutanan berdasarkan Juknis Polisi Kehutanan dan Angka kreditnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, tulisan ini akan menyajikan beberapa hal agar Diklat Pembentukan Polisi Kehutanan bermanfaat dan tidak terkesan mubassir karena tidak berpengaruh signifikan dalam membantu meningkatkan kinerja organisasi dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan.
Polhut adalah Pejabat Fungsional
Berdasarkan Pasal 3 Permenpan dan Reformasi Birokrasi  No. 17 Tahun 2011 tentang jabatan fungsional Polisi Kehutanan dan Angka Kreditnya, Polisi kehutanan merupakan pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional perlindungan dan pengamanan hutan serta peredaran hasil hutan pada instansi pemerintah baik pusat maupun daerah. Tugas-tugas perlindungan dan pengamanan kawasan hutan, kawasan konservasi beserta keanekaragaman hayati, hasil hutan dan peredaran hasil hutan di Indonesia sebagian besar bertumpu pada tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) Pejabat Fungsional Polhut.
Alumni Diklat Pembentukan Polhut yang sampai saat ini belum diangkat dalam jabatan Fungsional Polhut, tidak akan dapat menjalankan tugas-tugas perlindungan dan pengamanan hutan secara professional karena tidak didukung dengan Pola Karier yang jelas.  Apalagi  kalau profesionalisme itu kita tuntut dari alumni Diklat Pembentukan Polhut yang masih berstatus kontrak/TPHL, yang sampai saat ini belum jelas nasib kepegawaiannya dan akan berakhir bagaimana nantinya.  Sementara disisi lain ada tuntutan kesejahteraan  yang mengakibatkan mereka keluar dari kesadaran dan kesabarannya dalam bekerja sesuai dengan Kode Etik Polhut dan Panca Satya Polhut.  Sehingga akan menjadi menarik pertanyaan masyarakat yang mengatakan bahwa : “ Kenapa semakin banyak tenaga pengamanan hutan, kawasan hutan kita semakin tidak aman “
Keuntungan Pejabat Fungsional Polhut
Dari segi karir, PNS yang sudah mengikuti Diklat Pembentukan Polhut tetapi belum diangkat dalam jabatan fungsional Polhut akan mengalami kerugian karena tidak berpeluang menduduki pangkat tertinggi sesuai kelompok jabatan fungsionalnya.  Karena PNS tersebut secara tupoksi menjalankan tugas-tugas Polisi Kehutanan, tetapi dari segi karir pola kenaikan pangkatnya mengikuti kenaikan pangkat PNS biasa.
Berikut ini beberapa keuntungan bila diangkat dalam jabatan Fungsional Polhut :
1. Aspek Kesejahteraan
CPNS/PNS yang sudah mengikuti diklat pembentukan Polhut tidak akan mendapatkan tunjangan jabatan fungsional Polhut sebelum diangkat menjadi Pejabat Fungsional, mesikipun melaksanakan tugas-tugas perlindungan dan pengamanan hutan.  Sedangkan PNS yang menduduki jabatan fungsional akan mendapat tunjangan fungsional yang besarnya bervariasi sesuai dengan jenis jabatan fungsional. Semakin tinggi jabatan fungsional tentu saja tunjangannya semakin tinggi.
Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 18 Tahun 2013 tanggal 1 Maret 2013 tentang tunjangan jabatan fungsional Polisi Kehutanan, tunjangan jabatan Polhut sesuai dengan jenjang jabatannya adalah sebagai berikut :
a. Jabatan Fungsional Polhut Ahli
Polisi Kehutanan Madya, besarnya tunjangan Rp. 1.380.000,-
Polisi Kehutanan Muda, besarnya tunjangan Rp. 1.140.000,-
Polisi Kehutanan Pertama, besarnya tunjangan Rp. 540.000,-
b. Jabatan Fungsional Polhut Terampil
Polisi Kehutanan Penyelia, besarnya tunjangan Rp. 840.000,-
Polisi Kehutanan Pelaksana Lanjutan, besarnya tunjangan Rp. 510.000,-
Polisi Kehutanan Pelaksana, besarnya tunjangan Rp. 360.000,-
Polisi Kehutanan Pelaksana Pemula, besarnya tunjangan Rp. 300.000,-
2. Aspek Karir
a. Peluang memperoleh kepangkatan lebih tinggi.
CPNS/PNS yang sudah mengikuti diklat pembentukan Polhut dan tidak diangkat dalam jabatan fungsional Polhut, pada pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2000 tentang kenaikan pangkat PNS, dinyatakan bahwa PNS yang bersangkutan kenaikan pangkat  regulernya hanya diberikan sampai dengan :
Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b bagi yang memiliki Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, Sekolah Lanjutan Kejuruan Tingkat Atas 3 (tiga) tahun, Sekolah Lanjutan Kejuruan Tingkat Atas 4 (empat) tahun, Ijazah Diploma I, atau Ijazah Diploma II.
Penata Tingkat I, golongan ruang III/d bagi yang memiliki Ijazah Sarjana (S1) atau Ijazah Diploma IV.
Sedangkan PNS yang diangkat dalam jabatan fungsional Polhut kenaikan pangkatnya berdasarkan Permenpan dan RB No. 17 Tahun 2011 tentang jabatan fungsional Polhut dan angka kreditnya, dimana pada pasal 8  dinyatakan bahwa kenaikan pangkatnya diberikan sampai dengan :
Penata Tingkat I, golongan ruang III/d bagi yang memiliki Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, Sekolah Lanjutan Kejuruan Tingkat Atas 3 (tiga) tahun, Sekolah Lanjutan Kejuruan Tingkat Atas 4 (empat) tahun, Ijazah Diploma I, atau Ijazah Diploma II. (Polhut terampil).
Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c bagi yang memiliki Ijazah Sarjana (S1) dan atau beralih jabatan dari kelompok Polhut terampil ke kelompok Polhut Ahli.
b. Peluang memperoleh kenaikan pangkat/golongan lebih cepat
CPNS/PNS yang sudah mengikuti diklat pembentukan Polhut dan tidak diangkat dalam jabatan fungsional Polhut, pada pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2000 tentang kenaikan pangkat PNS, dinyatakan bahwa PNS yang bersangkutan kenaikan pangkat  regulernya dapat diberikan setingkat lebih tinggi apabila :
sekurang-kurangnya telah 4 (empat) tahun dalam pangkat terakhir dan
setiap unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.
Sedangkan PNS yang diangkat dalam jabatan fungsional Polhut kenaikan pangkatnya berdasarkan Peraturan Bersama Menhut dan Kepala BKN Nomor : 14/Menhut-II/2011 dan Nomor : 31 Tahun 2011 tentang Ketentuan pelaksanaan Permenpan dan RB No. 17 Tahun 2011 tentang jabatan fungsional Polhut dan angka kreditnya, dimana pada pasal 28 dinyatakan bahwa kenaikan pangkatnya dapat diberikan setingkat lebih tinggi apabila :
paling singkat 2 tahun dalam pangkat terakhir,
memenuhi angka kredit kumulatif yang ditentukan untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi; dan
setiap unsur penilaian prestasi kerja atau penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) paling kurang bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir.
Berdasarkan hal tersebut diatas akan terlihat bahwa PNS yang menduduki jabatan fungsional Polhut kenaikan pangkatnya dapat lebih cepat (setiap 2 tahun) dengan pangkat paling tinggi Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c.
3. Aspek Motivasi Kerja
Polisi Kehutanan berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional perlindungan dan pengamanan hutan serta pengawasan peredaran hasil hutan pada instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.  Dimana tugas pokok Polisi Kehutanan adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta pengawasan peredaran hasil hutan.
Motivasi pegawai dapat ditingkatkan dengan cara memberikan jaminan karir
yang jelas.  Pola karir yang jelas sangat mempengaruhi motivasi kerja Polhut dalam menjalankan tupoksinya.  Pejabat Fungsional Polhut memiliki pola karir yang jelas, karena beban kerja Polisi Kehutanan dalam melaksanakan tupoksinya digunakan untuk kenaikan jabatan/pangkat.
Sementara PNS yang sudah mengikuti diklat pembentukan Polhut dan belum diangkat dalam jabatan fungsional tetapi melaksanakan tugas-tugas kepolisian kehutanan, beban kerja tupoksi Polhut yang dilaksanakannya tidak dapat digunakan untuk kenaikan pangkatnya.
Perlu Peran Pemerintah Daerah
Mencermati fenomena yang terjadi dibeberapa Kabupaten/Kota dimana terdapat PNS yang sudah mengikuti diklat pembentukan Polhut, namun sampai saat ini belum diangkat dalam jabatan fungsional Polhut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, meskipun pada Pasal 5 Permenpan dan Reformasi Birokrasi  No. 17 Tahun 2011 tentang jabatan fungsional Polhut dan angka kreditnya, Instansi Pembina Jabatan Fungsional Polhut adalah Kementerian Kehutanan. Namun secara teknis, pengangkatan PNS Daerah dalam jabatan fungsional tertentu menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten / Kota.  Hal ini sesuai dengan ketentuan pada pasal 3 angka (2) huruf (c) Permenhut Nomor 9 Tahun 2014 tentang Juknis Polhut dan angka kreditnya.
Kewenangan tersebut diatas juga kembali dipertegas dalam pasal 53 huruf (e)  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, bahwa Presiden selaku  pemegang  kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan  pengangkatan,  pemindahan,  dan pemberhentian  pejabat  selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan  pejabat fungsional keahlian utama kepada Bupati/Walikota di Kabupaten/Kota.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, agar Diklat Pembentukan Polhut tidak terkesan mubassir bagi PNS yang sudah mengikuti diklat ini maka perlu adanya komitmen yang baik dari Pemerintah Daerah dengan dukungan dinas yang membidangi kehutanan di Kabupaten/Kota untuk mengangkat PNS tersebut dalam formasi jabatan fungsional Polhut. Sehingga diharapkan tugas-tugas perlindungan dan pengamanan kawasan hutan, hasil hutan dan peredaran hasil hutan di Indonesia dapat terlaksana sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena tugas-tugas tersebut sebagian besar bertumpu pada tupoksi Pejabat Fungsional Polhut.

Pustaka :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2002 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 17 Tahun 2011 tentang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan dan Angka Kreditnya.

Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor : P.9/Menhut-II/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Polhut dan Angka Kreditnya.

Peraturan Bersama Menteri Kehutanan dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : NK.14/Menhut-II/2011 dan Nomor : 31 Tahun 2011 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 17 Tahun 2011 tentang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan dan Angka Kreditnya.

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara No. 3 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya.




Diklat TKP sebagai Diklat Unggulan

DIKLAT TEKNIK PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP)
SEBAGAI DIKLAT UNGGULAN 
UNTUK MENDUKUNG PROSES PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Oleh :
SUDIRMAN SULTAN, SP., MP. *)
Abstract
Handling The Genesis Case is one of the investigation process to convince the investigator in the determination of the suspect and the judge in determining that the defendant perpetrators of such offenses. This study aims to determine whether the training techniques of handling crime scenes can be used as a training featured in the Forestry Training Centre  Makassar.
Key Words: training, crime scenes, investigation.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang juga disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah bahwa proses penegakan hukum melalui penjatuhan pidana oleh hakim hanya dapat dilakukan apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Berdasarkan alat bukti tersebut, hakim sebagai pemutus perkara pidana dapat meyakini dan menyimpulkan  tentang kesalahan terdakwa melalui penjatuhan  hukuman (pidana).
Penyidik Polri maupun PPNS juga menggunakan dasar pembuktian tersebut dalam proses penyidikan khususnya pada penetapan tersangka. Salah satu proses penyidikan yang dapat meyakinkan  penyidik dalam penetapan tersangka adalah penanganan Tempat Kejadian Perkara (TKP). Penanganan TKP terdiri atas dua kegiatan utama yaitu Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TPTKP)  dan pengolahan tempat kejadian perkara (Olah TKP).
Penanganan TKP diharapkan dapat menemukan bukti yang membuat terang suatu tindak pidana serta menemukan pelakunya. Hasil penyidikan  pada  Olah TKP dapat menjadikan petunjuk bahwa dalam suatu TKP telah terjadi  peristiwa tindak pidana. Dari hasil tersebut dapat ditemukan barang bukti yang  diduga telah digunakan atau ditinggalkan pelaku tindak pidana, sehingga setelah  semua laporan penyelidik dilimpahkan kepada penyidik mengenai adanya  suatu persitiwa tindak pidana, baru dapat dilakukan tindakan penyidikan untuk barang bukti dan menemukan pelaku. Oleh karena itu, kemampuan dan penguasaan teknik penanganan TKP sangat diperlukan bagi petugas (Polhut dan PPNS) yang akan mendukung keberhasilan proses penegakan hukum.
Tujuan dan Ruang Lingkup Kajian
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui apakah diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara dapat dijadikan diklat unggulan di Balai Diklat Kehutanan (BDK) Makassar.  Sedangkan ruang lingkup kajian ini akan membahas mengenai konsep dasar Tempat Kejadian Perkara (TKP), aspek hukum penanganan TKP dalam proses penegakan hukum, peserta pelatihan, kurikulum pelatihan dan pengajar/narasumber.

PEMBAHASAN
Tempat Kejadian Perkara

Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah suatu tempat penemuan barang bukti atau tempat terjadinya tindak pidana atau kecurigaan suatu tindak pidana, merupakan suatu persaksian.  Pengertian tempat kejadian perkara di dalam petunjuk lapangan No. Pol: Skep/1205/IX/2000 tentang Penanganan Tempat Kejadian Perkara terbagi menjadi 2 (dua) yakni:
1. Tempat di mana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau akibat yang ditimbulkannya.
2. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dimana barang-barang bukti,tersangka atau korban dapat ditemukan.
Pasal 1, Ayat (19) PERKAP POLRI Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil menyebutkan : ” Tempat Kejadian Perkara adalah yang selanjutnya disingkat TKP adalah tempat di mana  suatu tindak pidana dilakukan/terjadi dan tempat-tempat lain, di mana tersangka dan/atau korban dan/atau barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana  tersebut dapat ditemukan.  Hal tersebut juga tercantum pada Pasal 1, Ayat (19) PERKAP  POLRI  Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Berdasarkan pengertian tersebut, secara umum setiap tempat di mana telah terjadi tindak pidana harus dianggap sebagai TKP.   TKP  merupakan bagian pokok dari pangkal pengungkapan perkara pidana pada saat terjadi peristiwa pidana karena di tempat kejadian perkara dapat ditemukan interaksi antara pelaku kejahatan (tersangka) alat bukti yang digunakan dan saksi/korban kejahatan.
TKP merupakan salah satu sumber keterangan yang penting dan bukti-bukti yang dapat menunjukkan/membuktikan adanya hubungan antara korban, pelaku, barang bukti dan TKP itu sendiri.  Dari hubungan tersebut diusahakan untuk dapat mengungkapkan pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1. Benarkah tindak pidana telah terjadi ? Tindak pidana apa ?
2. Bagaimana tindak pidana dilakukan ?
3. Siapa yang melakukan tindak pidana ?
4. Dengan apa itu dilakukan ?
5. Mengapa tindak pidana itu dilakukan ?
6. Di mana dilakukan ?
7. Bilamana dilakukan ?

Aspek Hukum Penanganan TKP dalam Proses Penegakan Hukum

Pasal 183 KUHAP mengatur tentang sistem pembuktian dalam perkara pidana di mana dalam pasal tersebut diuraikan bahwa “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pasal tersebut menentukan dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan seseorang bersalah dan menjatuhkan pidana, yaitu :
1. Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
2. Adanya keyakinan Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah tersebut.

Alat Bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah :
1. Keterangan saksi,
2. Keterangan ahli,
3. Surat,
4. Petunjuk, dan
5. Keterangan terdakwa.
Sedangkan dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, selain kelima alat bukti tersebut ditambahkan lagi tiga alat bukti yang sah yaitu :
1. Informasi elektronik : informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2. Dokumen elektronik : data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, berupa :
a. tulisan, suara atau gambar
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, dan/atau
c. huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
3. Peta.
Dalam KUHAP, selain istilah alat bukti, juga dikenal istilah barang bukti.  Dari daftar alat-alat bukti yang sah yang dikemukakan di atas, tampak bahwa barang bukti tidak disebutkan sebagai termasuk ke dalam salah satu alat bukti yang sah.  Dengan kata lain, barang bukti bukanlah alat bukti.
Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan dinyatakan bahwa : ”Barang bukti tindak pidana kehutanan adalah segala benda yang patut diduga bersangkut paut dengan suatu tindak pidana kehutanan yang ditemukan di tempat  kejadian perkara maupun ditempat lainnya. Sedangkan dalam KUHAP            memang tidak disebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu :
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti
Pasal-pasal KUHAP lainnya yang di dalamnya terdapat istilah “barang bukti”, yaitu:
1. Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 2: Salah satu wewenang Penyelidik adalah mencari barang bukti;
2. Pasal 8 ayat (3) huruf b: Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum;
3. Pasal 18 ayat (2): Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat;
4. Pasal 21 ayat (1): Salah satu alasan perlunya penahanan adalah dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran  bahwa tersangka atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti;
5. Pasal 181 ayat (1): Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadañya apakah Ia mengenal benda itu; yang dilanjutkan dengan Pasal 181 ayat (1):  Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi;
6. Pasal 194 ayat (1): Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi;
7. Pasal 203 ayat (2): Dalam Acara Pemeriksaan Singkat, penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan;
Berdasarkan pasal-pasal KUHAP tersebut di atas, barang bukti memiliki kedudukan penting dalam suatu putusan pengadilan, di mana salah satu poin dalam putusan pemidanaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.  Dalam pasal ini tidak hanya disebut tentang “alat bukti” saja, melainkan “alat pembuktian”.  Istilah “alat pembuktian”, yaitu Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa benda yang disita bisa saja termasuk alat pembuktian dan bukan alat pembuktian.  Jadi, penggunaan istilah alat pembuktian mencakup juga benda yang disita.  Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan “benda yang disita” itu adalah apa yang dalam hukum acara pidana dinamakan “barang bukti”.
Barang-bukti yang disita oleh penyidik berasal dari TKP, di mana ketepatan teknik penanganan TKP akan menunjukkan hubungan yang jelas dari barang bukti yang ditemukan dengan pelaku dan obyek kerusakan lingkungan-kehutanan. Kejelasan hubungan ini akan menguatkan kedudukan alat bukti yang sah, sehingga apabila hakim mempelajari alat bukti yang diajukan akan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani.  Hal ini   dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), sehingga Hakim dapat menjatuhkan vonis bahwa terdakwa benar telah bersalah melakukan perusakan lingkungan dan kehutanan.

Peserta Pelatihan
Penanganan TKP terdiri atas dua kegiatan utama yaitu Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TPTKP)  dan pengolahan tempat kejadian perkara (Olah TKP).  TPTKP dapat dilakukan oleh Polhut yang belum berkualifikasi sebagai PPNS. Berdasarkan laporan kejadian yang disampaikan oleh Polhut kepada PPNS, maka PPNS dapat melakukan pengolahan TKP apabila dianggap masih diperlukan dalam mendukung ditemukannya kebenaran materiil.  Jadi Diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara ini dapat diikuti oleh Polisi Kehutanan, baik yang berkualifikasi sebagai PPNS maupun yang belum PPNS.
Penanganan TKP terdiri atas pengamanan TKP, penanganan tersangka, penanganan saksi dan penanganan barang bukti.  Berdasarkan Peaturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi  No. 11 Tahun 2011 tentang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan, butir kegiatan yang ada hubungannya dengan diklat teknik penanganan TKP adalah :
1. Penangkapan tersangka (Polhut terampil dan Polhut ahli pada semua jenjang jabatan)
2. Pengamanan Barang Bukti (Polhut terampil semua jenjang dan Polhut Ahli Pertama)
3. Penanganan / Olah TKP (Polhut Pelaksana, Pelaksana Lanjutan, Penyelia dan Polhut Ahli semua Jenjang)
Berdasarkan Permenpan & RB No. 11 Tahun 2011 tersebut, diklat teknik penanganan perkara dapat diikuti oleh :
1. Polisi Kehutanan Tingkat Terampil yaitu  Polhut Pelaksana, Polhut Pelaksana Lanjutan dan Polhut Penyelia.
2. Polisi Kehutanan Tingkat Ahli yaitu Polhut Ahli Pertama, Polhut Ahli Muda dan Polhut Ahli Madya.

Kurikulum Pelatihan

Kurikulum Diklat ini merupakan hasil kajian permasalahan penegakan hukum kehutanan. Diklat Penanganan TKP akan meningkatkan keterampilan Polhut dalam melakukan penanganan TKP, di mana ketepatan teknik penanganan TKP akan menunjukkan hubungan yang jelas dari barang bukti yang ditemukan dengan pelaku dan obyek kerusakan lingkungan-kehutanan. Kejelasan hubungan ini akan menguatkan kedudukan alat bukti yang sah, sehingga apabila hakim mempelajari alat bukti yang diajukan akan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani.  Hal ini   dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), sehingga Hakim dapat menjatuhkan vonis bahwa terdakwa benar telah bersalah melakukan perusakan lingkungan dan kehutanan.
Diklat ini akan mendukung peningkatan kinerja penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan, di mana Kementerian LHK merupakan satu-satunya kementerian yang memiliki Direktorat Jenderal Penegakan Hukum.
Pengajar/Narasumber
Di Balai Diklat Kehutanan Makassar terdapat 2 (dua) orang Widyaiswara/ Narasumber yang memiliki pengalaman sebagai Polhut dan PPNS.  Kedua Widyaiswara ini juga sudah terbiasa memfasilitasi materi/mata diklat yang terkait dengan pelaksanaan tugas Polhut dan PPNS. Berikut ini pengalaman dari kedua  Widyaiswara tersebut :
1. Sudirman Sultan, SP., MP.
Pernah bertugas sebagai Jagawana/Polisi Kehutanan pada Taman Nasional Taka Bonerate Kabupaten Selayar Sulawesi- Selatan.  Selama bertugas di Taka Bonerate, pernah melaksanakan tugas sebagai Komandan Pos, Kepala Satuan Tugas Polhut, Koordinator Perlindungan dan Pengamanan Hutan tingkat Balai TN Taka Bonerate dan Penyidik PNS (PPNS) Kehutanan.
Sejak tahun 2005, menjalankan tugas-tugas kewidyaiswaraan khususnya diklat-diklat teknis kepolisian kehutanan seperti :
Diklat Pemberkasan Perkara Bagi Polhut, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Pengamanan Hutan Partisipatif, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Penanganan Tempat Kejadian Perkara, sebanyak 1 angkatan.
On Job Training dan Penyegaran Polisi Kehutanan di Wilayah Layanan Balai Diklat Kehutanan Makassar seperti Kabupaten Sinjai, Kabupaten Sorong Selatan.
Selain diklat teknis, juga memfasilitasi diklat-diklat jabatan fungsional Polisi Kehutanan, seperti :
Diklat Pembentukan Polisi Kehutanan, sebanyak 35 angkatan di BDK Makassar dan 1 angkatan di BDK Pekanbaru.
Diklat Pembentukan SPORC Bidang Kehutanan, sebanyak 2 angkatan.
Diklat Penjenjangan Fungsional Polhut Pelaksana Lanjutan, sebanyak 5 angkatan.
Diklat Alih Tingkat Polhut Terampil ke Polhut Ahli, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Penjenjangan Fungsional Polhut Ahli Madya, sebanyak 2 angkatan.
2. Pemilu Arman Labahi, SP., MP.
Pernah bertugas sebagai Jagawana/Polisi Kehutanan pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara.  Selama bertugas di BKSDA Sulawesi Tenggara, juga menjalankan tugas Penyidik PNS (PPNS) Kehutanan.  Sejak tahun 2005, menjalankan tugas-tugas kewidyaiswaraan khususnya diklat-diklat teknis kepolisian kehutanan seperti :
Diklat Pemberkasan Perkara Bagi Polhut, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Pengamanan Hutan Partisipatif, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Penanganan Tempat Kejadian Perkara, sebanyak 1 angkatan.
On Job Training dan Penyegaran Polisi Kehutanan di Wilayah Layanan Balai Diklat Kehutanan Makassar seperti Kabupaten Mamuju, Kabupaten Bulukumba.
Selain diklat teknis, juga memfasilitasi diklat-diklat jabatan fungsional Polisi Kehutanan, seperti :
Diklat Pembentukan Polisi Kehutanan, sebanyak 35 angkatan di BDK Makassar dan 1 angkatan di BDK Pekanbaru.
Diklat Pembentukan SPORC Bidang Kehutanan, sebanyak 2 angkatan.
Diklat Penjenjangan Fungsional Polhut Pelaksana Lanjutan, sebanyak 5 angkatan.
Diklat Alih Tingkat Polhut Terampil ke Polhut Ahli, sebanyak 3 angkatan.

Widyaiswara dapat juga memperkaya desain proses pembelajaran dengan berkolaborasi dengan PPNS dari Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Anoa Sulawesi Selatan.  Pada tahun ini, PPNS SPORC Brigade anoa akan berada dalam satu lembaga tersendiri yaitu Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2H-LHK).  BP2H-LHK ini hanya terdapat di 5 (lima) Propinsi Besar di seluruh Indonesia.  Salah Satunya berkedudukan di Makassar.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan kajian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Penanganan Tempat Kejadian Perkara sangat berperan penting dalam proses penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan.
2. Diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara dapat diikuti oleh Polhut terampil maupun Polhut Ahli dari UPT-LHK, Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Kehutanan di seluruh Indonesia, baik yang berkualifikasi PPNS maupun yang belum berkualifikasi PPNS.
3. Pengajar/Narasumber tersedia di Balai Diklat Kehutanan Makassar dan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2H-LHK) Sulawesi di Makassar.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka direkomendasikan sebagai berikut :
1. Diklat Penanganan Tempat Kejadian Perkara dijadikan sebagai diklat unggulan di BDK Makassar yang akan mendukung proses penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan.
2. Sebagai diklat ungulan yang akan mendukung proses penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan, maka Diklat Penanganan Tempat Kejadian Perkara ini diusulkan untuk diprogramkan setiap tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1987.  Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana.  Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Sultan, Sudirman., 2015.    Bahan Ajar ”Tempat Kejadian Perkara” pada Diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara Tahun 2015.  Balai Diklat Kehutanan Makassar, Makassar.
Sultan, S. dan Arman Labahi, 2015.    Modul ”Pengolahan Tempat Kejadian Perkara” pada Diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara Tahun 2015.  Balai Diklat Kehutanan Makassar, Makassar.
Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.


HUTAN DESA : HARAPAN BARU BAGI MASYARAKAT DESA PATTANETEANG

HUTAN DESA : HARAPAN BARU
BAGI MASYARAKAT DESA PATTANETEANG
Oleh : Sudirman Sultan, SP., MP.

Hutan Desa merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan Pasal 5 dimana Hutan Desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa.  Selanjutnya di dalam PP No. 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, hutan desa didefenisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa.  Sedangkan dalam Permenhut No. 49 Tahun 2008 tentang Hutan Desa, Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan
untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak.
Ketiga pengertian pada aturan perundangan tersebut di atas menunjukkan bahwa hutan desa merupakan suatu bentuk pengelolaan hutan yang mengakomodasi kepentingan dan partisipasi masyarakat secara luas didalam pengelolaan hutan.  Konsep ini menawarkan hubungan simbiosis yang saling menguntungkan antara masyarakat di desa dengan lahan hutan. Disatu sisi, masyarakat mendapatkan manfaat langsung maupun tidak langsung dari hutan dan disisi lain hutan mendapatkan penanganan pelestarian.
Olehnya itu agar simbiosis ini saling menguntungkan, dalam melakukan pengelolaan hutan desa setidaknya dijalankan dengan tiga prinsip yaitu : (1) partisipasi, (2) pertanggungjawaban dan (3) keadilan. Partisipasi hendak menunjuk pada suatu prinsip bahwa suatu keputusan yang harus diambil didalam pengelolaan hutan desa harus  mencerminkan dan memperoleh persetujuan dari rakyat. Tidak boleh ada keputusan yang diambil secara sepihak atau tidak boleh ada keputusan tanpa partisipasi; Pertanggungjawaban merupakan prinsip mengharuskan lembaga pengelola hutan desa  memberikan laporan yang jujur terhadap apa yang sudah dijalankan. Hal ini perlu ditegakkan agar tidak terjadi tindakan yang berbasis subyektivitas, yang pada gilirannya merugikan masyarakat; Keadilan merujuk pada keharusan tidak adanya diskriminasi, pembedaan dan kecurangan dalam proses penyelenggaraan pengelolaan hutan desa.
Memperhatikan konsep Hutan Desa tersebut, Pemerintah Kabupaten Bantaeng menganggapnya penting dan menjadi sebuah solusi dalam menghadapi tantangan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari dan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Dan untuk mewujudkannya Pemerintah Kabupaten Bantaeng telah bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UNHAS, RECOFTC beserta masyarakat setempat membentuk wadah komunikasi dan fasilitasi dengan nama ”FORUM REMBUK HUTAN DESA”.  Forum ini dibentuk dengan tujuan untuk membangun sinergitas dalam penyelenggaraan hutan desa dan melibatkan berbagai pihak terkait  baik dari pemerintah daerah, UPT Dephut dan berbagai unsur masyarakat.
Berdasarkan hasil musyawarah desa dalam forum rembuk hutan desa telah disepakati melakukan pengelolaan hutan desa.  Hal inilah yang menjadi dasar pertimbangan Bupati Bantaeng dalam merekomendasikan dan melanjutkan usulan masyarakat tersebut kepada Menteri Kehutanan.  Menteri Kehutanan atas dasar surat Bupati Bantaeng menurunkan tim verifikasi dan selanjutnya menetapkan kawasan hutan lindung seluas 704 ha yang terletak di Desa Labbo, Desa Pattaneteang dan Kelurahan Cempaga Kecamatan Tompobulu sebagai  areal program Hutan Desa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 55/Menhut-II/2010 tanggal 21 Januari 2010.  Surat Keputusan ini diserahkan langsung oleh Wakil Presiden RI (H.M.Yusuf Kalla) kepada Gubernur Sulawesi Selatan (H. Syahrul Yasin Limpo) pada tanggal 22 Januari 2010 di Istana Wakil Presiden Jakarta.
Hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat di Desa Pattaneteang menyatakan bahwa kehadiran program hutan desa di Desa Pattaneteang dengan prinsip pengelolaan tersebut diatas merupakan harapan baru bagi masyarakat desa pattaneteang yang sebagian besar masyarakatnya bermukim di sekitar kawasan hutan Desa Pattaneteang yang luasnya 308,69 ha.
Mengapa hutan desa merupakan harapan baru bagi masyarakat Desa Pattaneteang ? Hutan Desa menjadi harapan baru bagi masyarakat Desa Pattaneteang karena informasi sistem pengelolaannya yang menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja dan sebagai pihak yang harus mendapatkan bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan pengelolaan.
Selain itu penyelenggaraan hutan desa memberikan akses kepada masyarakat Desa Pattaneteang melalui BUMDes SIPAKAINGA' sebagai lembaga desa yang berperan dalam memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari.  BUMDes SIPAKAINGA' ini ditetapkan sebagai lembaga pengelola hutan Desa Pattaneteang berdasarkan Peraturan Desa Pattaneteang No. 02 Tahun 2010 tentang Lembaga Pengelola Hutan Desa.  Dengan  adanya lembaga BUMDes sebagai lembaga pengelola Hutan Desa yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Desa seperti tersebut diatas, berarti kegiatan pengelolaan hutan akan terpadu dengan kegiatan pembangunan sektor pedesaan lainnya yang selama ini sangat sulit dipadukan.  Namun terpadunya kedua kegiatan inipun belum tentu memenuhi harapan masyarakat desa terkait dengan peningkatan kesejahteraannya apabila dalam implementasinya tetap tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat desa dan kelestarian hutan.
 Kehadiran program Hutan Desa sebagai program yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa ternyata bukan saja menjadi harapan masyarakat Desa Pattaneteang sebagai salah satu lokasi Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng, tetapi harapan inipun menjadi harapan semua stakeholder yang terkait.  Harapan yang sangat besar ini dan ekspose penyelenggaraan Hutan Desa di Kabupaten Bantaeng yang sangat bagus terkadang seseorang yang akan berkunjung ke Hutan Desa di Bantaeng ingin melihat dan menanyakan langsung bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat desa yang berada disekitar kawasan Hutan Desa.   Padahal saat ini,  belum saatnya menanyakan kepada masyarakat implementasi penyelenggaraan hutan Desa Pattaneteang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.  Karena saat ini masih tahapan persiapan-persiapan pemantapan pengelolaan hutan desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pun masih sebatas harapan.
Perspektif peningkatan kesejahteraan masyarakat desa merupakan hal yang perlu diantisipasi dengan peningkatan SDM pengelola dan masyarakat desa melalui pendampingan-pendampingan program, sehingga perspektif terwujudnya  pengelolaan kawasan hutan secara lestari tetap terakomodir. Pendampingan ini bertujuan agar program Hutan Desa tetap berjalan sesuai dengan koridor aturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga masyarakat mengetahui dengan jelas kegiatan pemanfaatan apa yang diperbolehkan didalam kawasan hutan Desa Pattaneteang yang statusnya hutan lindung dan apa kewajiban pengelola dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.   
Tenaga Pendamping program Hutan Desa dapat berperan sebagai fasilitator yang akan merancang kegiatan  peningkatan SDM pengelola dan masyarakat desa.  Kegiatan  pendampingan ini dapat dilakukan melalui kegiatan fasilitasi perancangan beberapa Peraturan Desa dan pelaksanaan kegiatan training seperti training penguatan hak-hak masyarakat dalam mengelola hutan, pengelolaan usaha kehutanan masyarakat dan lain-lain yang terkait dengan pengembangan hutan desa. 
Apabila pendampingan program hutan desa tidak menjadi alternatif dalam peningkatan SDM pengelola yang berakhlak, dikhawatirkan akses pemanfaatan kawasan hutan diartikan pemanfaatan hasil hutan kayu yang tidak sesuai dengan ketentuan pemanfaatan kawasan hutan desa yang berstatus hutan lindung.  Bahkan masyarakat akan cenderung melakukan pemanfaatan kawasan hutan tak terkendali.  Sehingga bukannya hutan lestari masyarakat sejahtera,  malah sebaliknya  masyarakat sejahtera tetapi hutan mengalami kerusakan atau bahkan masyarakatnya tidak sejahtera dan hutannyapun mengalami kerusakan.
Sebagai contoh pada areal Hutan Desa Pattanetang telah terdapat tanaman kopi di bawah tegakan.  Tanaman kopi yang berada pada areal Hutan Desa ini tidak berbuah karena lebatnya daun-daun pohon yang mengakibatkan heat unit yang dibutuhkan tanaman kopi untuk berbuah tidak mencukupi. Apabila tidak ada pendampingan dalam hal teknik silvikultur, masalah ini dapat menjadi penyebab masyarakat melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan fungsi hutannya seperti mematikan beberapa pohon dengan meneres batang agar pohon kopinya mendapatkan cahaya matahari yang cukup yang dibutuhkan oleh tanaman kopi untuk dapat berbuah.
Selain kekhawatiran tersebut diatas yang akan mengakibatkan harapan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak terwujud, kekhawatrian lain dari masyarakat pada program desa ini adalah manfaat hutan desa yang hanya berputar-putar dalam lingkaran perangkat desa dan tidak terdistribusi baik pada seluruh level sosial ekonomi masyarakat.  Apabila hal ini terjadi, program hutan desa tidak akan berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan.
Olehnya itu, program hutan desa perlu diikuti dengan program peningkatan SDM bagi masyarakat desa dalam menyikapi adanya program ini. Dengan dukungan SDM akan terbangun sistem aglomerasi usaha kehutanan dan sistem pelayanan mikroforestry di wilayah desa hutan. Sehingga keberadaan hutan desa tidak hanya memenuhi persyaratan administrasi tetapi juga dapat memenuhi harapan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya.  Sehingga harapan masyarakat Desa Pattaneteang dengan adanya Hutan Desa tidak sebatas harapan kosong semata.



Implementasi Hukum Pembuktian dalam Pencapaian Indikator Keberhasilan Praktek Mata Diklat Proses Pemberkasan


Abstract
The process of filing was results of the end of a process investigation the criminal act. Investigation was carried out as effort to find evidence of any elements which presupposed article to the suspect, so as clear that the suspects was the perpetrators of this criminal act.

Keywords : Investigation, Evidence and Filing

Proses pemberkasan perkara merupakan proses pengumpulan administrasi penyidikan yang dilakukan oleh penyidik selama proses penyidikan tindak pidana sesuai dengan syarat susunan pemberkasan, syarat penyampulan, pengikatan dan pemberian Lak serta penomoran yang ditentukan. Jadi pemberkasan perkara merupakan salah satu bagian dalam proses penyidikan.  Penyidikan dilakukan oleh penyidik, baik penyidik Polri maupun PPNS sebagai upaya menemukan bukti, guna membuat suatu perkara menjadi jelas/terang dan untuk mengungkap atau menemukan tersangka kejahatan.
Pasal 1 butir (2) Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya”. Berdasarkan pasal ini, penyidik Polri maupun PPNS yang menangani kasus tindak pidana harus  melakukan pengumpulan bukti dengan berbagai cara yang sesuai dengan kewenangannya.  Pengumpulan bukti ini bertujuan untuk menemukan kebenaran materiil tentang suatu tindak pidana sesuai dengan unsur-unsur pasal tindak pidana yang dipersangkakan kepada tersangka.



Hukum Pembuktian
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian.  KUHAP hanya memuat peran pembuktian sebagaimana tersebut dalam pasal 183 yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini berarti bahwa untuk meyakinkan hakim dalam proses peradilan pidana, seorang penyidik harus mampu memperoleh minimal dua alat bukti yang sah yang menunjukkan kebenaran tentang siapa pelaku  tindak pidana tersebut.
Berdasarkan pasal 183 KUHAP ini menunjukkan bahwa sistem pembuktian yang digunakan menganut teori pembuktian negative wettelijk.  Wettelijk berarti berdasarkan undang-undang, sedangkan negative berarti bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai undang-undang tetapi hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.  Jadi hakim dalam memutuskan perkara, tidak sepenuhnya mengandalkan alat bukti tetapi harus disertai keyakinan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan suatu tindak pidana.  Keyakinan hakim dibentuk berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang bersesuaian satu dengan lainnya.  Sehingga dalam pembuktian benar-benar ditemukan kebenaran dan sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan.
Alat bukti yang sah berdasarkan pasal 37 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,  adalah alat bukti sebagaimana dalam KUHAP yaitu pasal 184 (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa) dan alat bukti lainnya berupa informasi elektronik, dokumen elektronik dan atau peta.  Informasi elektronik adalah informasi  yang  diucapkan,  dikirimkan,  diterima,  atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.  Sedangkan dokumen elektronik adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,  benda  fisik  apa  pun  selain  kertas,  atau  yang terekam secara elektronik, berupa : a) tulisan, suara, atau gambar; b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan/atau c) huruf,  tanda,  angka, simbol,  atau  perforasi  yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Dalam KUHAP, selain istilah alat bukti, juga dikenal istilah barang bukti (corpus delicti).  Dari daftar alat-alat bukti yang sah yang dikemukakan di atas, tampak bahwa barang bukti tidak termasuk ke dalam salah satu alat bukti yang sah.  Dengan kata lain, barang bukti bukanlah alat bukti.  Pengertian barang bukti terdapat pada  Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan : ”Barang bukti tindak pidana kehutanan adalah segala benda yang patut diduga bersangkut paut dengan suatu tindak pidana kehutanan yang ditemukan di tempat  kejadian perkara maupun ditempat lainnya. Dalam hal.   Pasal ini bersesuaian dengan Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang  menyebutkan bahwa  benda  yang dapat disita adalah :
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,
Pemeriksaan terhadap corpus delicti dilakukan terlebih dahulu sebelum mendengar keterangan saksi.  Hal ini karena fakta tentang benar-benar telah terjadi suatu tindak pidana harus dipastikan terlebih dahulu baru dapat melangkah pada pembuktian mengenai siapa pelakunya.  Dalam membuktikan siapa pelaku tindak pidana, barang bukti harus menguatkan kedudukan alat bukti yang sah.  Misalnya  barang bukti chainsaw yang digunakan oleh tersangka dalam melakukan tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan.  Maka keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti harus dapat menunjukkan keterkaitan antara barang bukti dengan peristiwa pidana yang terjadi.  Jadi barang bukti merupakan “alat pembuktian” yang tidak dapat berdiri sendiri.

Pencapaian Indikator Keberhasilan Praktek
Output dari praktek mata diklat proses pemberkasan adalah berkas perkara.  Berkas perkara yang dihasilkan harus memenuhi syarat dari hukum pembuktian yaitu dapat meyakinkan hakim dalam menjatuhkan vonis kepada terdakwa karena terdapat fakta-fakta minimal dua alat bukti yang sah, dimana kedua alat bukti ini bersesuaian antara satu dengan lainnya.  Untuk mendapatkan berkas perkara yang seperti ini, maka hukum pembuktian harus terimplementasi dalam indikator keberhasilan mata diklat praktek proses pemberkasan.
Indikator keberhasilan dari praktek proses pemberkasan perkara ini adalah setelah melakukan kegiatan praktek, peserta mampu : 1). Menerapkan pasal yang tepat dalam Laporan Kejadian; 2). Melakukan pengolahan TKP; 3). Melakukan penindakan; 4). melakukan persiapan pemeriksaan dengan menyusun draft pertanyaan 7 Kah sesuai unsur pasal yang dilanggar; 5). Melakukan pemeriksaan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP); 6). melakukan pemberkasan; 7) menyerahkan berkas perkara tahap I dan II.
Dalam pelaksanaan praktek, peserta diklat dibagi menjadi 4 (empat) kelompok.  Masing-masing kelompok berperan sebagai tim penyidik yang akan melakukan proses pemberkasan suatu tindak pidana kehutanan. Setiap kelompok terdapat peserta yang penguasaan kompetensi pemberkasan perkara lebih tinggi dibanding dengan yang lain.  Peserta ini akan berperan sebagai tutor dalam kelompoknya, sehingga akan membantu proses pencapaian indikator keberhasilan praktek.
Berikut ini kami uraikan pencapaian masing-masing indikator keberhasilan dari praktek mata diklat proses pemberkasan :
1) Menerapkan pasal yang tepat dalam Laporan Kejadian (LK)
Penyidik dan atau PPNS mempelajari terlebih dahulu pasal pelanggaran yang tertulis dalam LK, apakah sudah atau belum sesuai dengan tindak pidana yang terjadi ?.   Untuk menyakinkan ketepatan dan kebenaran pasal pelanggaran yang diterapkan, penyidik dapat mendahulukan pemeriksaan terhadap saksi pelapor.  Contoh penulisan pada bagian peristiwa yang terjadi adalah :
Yang Terjadi  :    ”Melakukan kegiatan perkebunan tanpa Izin Menteri di dalam  hutan sebagaimana tersebut pada Pasal 92 ayat (1) huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan  atau Pasal 40 ayat (1) Jo Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya”

2) Melakukan pengolahan TKP
Berdasarkan laporan tentang terjadinya suatu tindak pidana, penyidik mempelajari fakta-fakta dalam LK, BAP di TKP dan Sket Lokasi TKP yang dibuat oleh Polhut pada saat TPTKP.  Fakta Tindak pidana kehutanan yang terjadi misalnya sebagai berikut :
Tindak pidana kehutanan yang terjadi adalah : perkebunan tanpa izin Menteri di dalam Kawasan Hutan sebagaimana tersebut dalam pasal 92 ayat (1) huruf b Jo pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan.
Waktu dan tempat kejadian : Selasa, 11 Agustus 2015 sekitar pukul 09.25 Wita di kawasan Hutan Lindung B.
Modus Operandi : Membuka lahan perkebunan dalam kawasan hutan lindung dengan menebang pohon.
Pelaku 2 orang dan  tidak ada saksi yang melihat.
Barang Bukti yang diserahkan : peralatan berkebun yaitu 1 (satu) buah parang , 1 (buah) cangkul, dokumentasi pondok kebun dan dokumentasi areal hutan lindung yang digarap
Berdasarkan fakta tersebut diatas, penyidik perlu melakukan olah TKP  terhadap :
Lokasi Kejadian : bersama dengan ahli dari BPKH mengambil titik koordinat di areal yang sudah dibuka untuk memastikan bahwa perkebunan tersebut berada dalam kawasan hutan lindung A berdasarkan SK Menteri Nomor berapa ?.
Modus Operandi : Mengidentifikasi apakah pembukaan lahan perkebunan dengan menebang pohon ? Catat jenis pohon yang ditebang, diameter tunggak dan titik koordinat masing-masing tunggak pohon yang ditebang. Jika betul terdapat pohon yang ditebang, dalam LK untuk bagian yang terjadi ditambahkan pasal penebangan pohon.
Barang Bukti : mengidentifikasi tanaman perkebunan yang ada di TKP mulai dari jenis tanaman perkebunan, umur tanaman dan tinggi tanaman. Mengidentifikasi sistem perkebunan yang dilakukan oleh pelaku, apakah tradisional atau modern.
Tahapan-tahapan dalam Olah TKP adalah :
1) Persiapan Olah TKP
Permintaan bantuan ahli kawasan hutan yaitu dari BPKH.
Permintaan bantuan dari ahli tanaman perkebunan.
Persiapan personil lainnya yang akan bergabung dalam TIM Olah TKP.
Persiapan sarana dan prasarana seperti GPS, Kamera, meteran, peta kawasan hutan, cat/pilox dll.
Apel persiapan Olah TKP.
2) Pelaksanaan Olah TKP
Catat waktu tiba dan kondisi cuaca di TKP.
Melakukan pengamatan secara umum TKP perkebunan dalam kawasan hutan
Melakukan pemotretan secara umum terhadap TKP perkebunan dalam kawasan hutan
Melakukan pemotretan terhadap semua aktifitas pengolahan TKP.
Melakukan pengambilan koordinat di empat persegi dari areal hutan yang sudah digarap.
Apabila betul ada pohon yang ditebang, lakukan penomoran tunggak pohon yang ditebang, yang dilanjutkan dengan pemotretan dan pengambilan titik koordinat  disetiap tunggak pohon.
Mencatat jenis tanaman perkebunan, jumlah pohon, umur dan tinggi tanaman perkebunan yang ada di TKP.  (penghitungan bisa dengan sampel oleh ahli tanaman perkebunan).
Tim ahli dari BPKH melakukan ploting pada peta kawasan hutan lindung A dan memastikan bahwa semua areal perkebunan yang sudah digarap beserta tunggak pohon yang ada terletak dalam kawasan hutan lindung A.
Meneliti sistem perkebunan yang diterapkan oleh pelaku, apakah masih tradisional atau sudah modern.
Mencatat semua data dan informasi yang diperoleh di TKP untuk kelengkapan Berita Acara.
Memeriksa catatan apakah hal penting yang ingin diketahui di TKP sudah diperoleh ? Yaitu : lokasi perkebunan di Kawasan Hutan Lindung A, Adanya Pohon yang ditebang di Areal perkebunan tersebut, jenis tanaman perkebunan dan sistem perkebunan tradisional atau modern.
3) Pengakhiran Olah TKP
Apabila berdasarkan analisa penyidik, Penyidik berkeyakinan bahwa bukti-bukti yang didapat di TKP sudah cukup, maka Ketua Tim Olah TKP memerintahkan untuk mengakhiri kegiatan Olah TKP.
Tindak lanjut Pengolahan TKP ini Petugas membuat Administrasi Olah TKP yang diperlukan dalam proses Penyidikan.
3) Melakukan penindakan
Penindakan dilakukan setelah penyidik menyampaikan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) kepada Penuntut Umum.  Setiap kegiatan penindakan harus disertai dengan surat perintah dan berita acara tindakan yang telah dilakukan.  Kegiatan penindakan meliputi : pemanggilan, penangkapan, penggeledahan dan penyitaan.
Pemanggilan harus dilakukan dengan surat pemanggilan yang sah sesuai dengan bentuk dan format yang sudah ditentukan. Surat panggilan ini akan dipergunakan untuk kelengkapan berkas perkara yang merupakan bagian dari administrasi penyidikan. Dalam surat panggilan harus disebutkan dengan jelas status orang yang dipanggil dan pasal yang dipersangkakan. Apabila dipanggil dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah (patut dan wajar), maka dapat dilakukan tindakan membawa dengan surat perintah membawa.
Penangkapan dilakukan atas dasar “Bukti Permulaan yang Cukup”, yaitu laporan kejadian ditambah dua alat bukti yang sah.  Tindakan penangkapan harus dilengkapi dengan surat perintah penangkapan dan berita acara penangkapan atau berita acara tertangkap tangan.
Penggeledahan dilakukan oleh Penyidik atas izin dari ketua Pengadilan Negeri.  PPNS Kehutanan saat ini sudah dapat melakukan penggeledahan sebagaimana tersebut dalam pasal 30 huruf f Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Penyitaan dilakukan setelah ada izin dari ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak dapat melakukan penyitaan tanpa menunggu surat izin penyitaan, namun wajib segera melaporkannya guna memperoleh persetujuan ketua pengadilan negeri (Pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHAP). Dalam penyitaan dilakukan pemotretan dan dibuatkan tanda terima yang menyebutkan secara rinci tentang jumlah atau berat menurut jenis masing-masing
4) Melakukan persiapan pemeriksaan dengan menyusun draft pertanyaan 7 Kah sesuai unsur pasal yang dilanggar
Salah satu persiapan sebelum pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik adalah menyusun daftar pertanyaan untuk masing-masing sasaran pemeriksaan (Saksi, Tersangka atau Ahli) sesuai dengan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan.   Penyusunan daftar pertanyaan dilakukan dengan memperhatikan hukum pembuktian, yaitu kesesuaian antara barang bukti dengan tindak pidana yang terjadi, barang bukti dengan alat bukti dan alat bukti yang satu dengan alat bukti lainnya. Contoh :
Diperlihatkan kepada saudara barang bukti berupa 1 (satu) unit chainsaw.  Coba saudara ceritakan bagaimana saudara melakukan penebangan pohon dengan menggunakan chainsaw ini ?
Berdasarkan keterangan lelaki an.A, saudara menggunakan chainsaw ini dalam melakukan penebangan pohon di Kawasan Hutan Lindung A ? Jelaskan pendapat saudara !
5) Melakukan pemeriksaan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Pemeriksaan dalam perkara tindak pidana kehutanan dilaksanakan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti tentang unsur-unsur tindak pidana kehutanan yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas di dalam BAP.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan teknik wawancara,  interview, interogasi, konfrontasi dan elisitasi (yang diperiksa merasa dirinya sedang tidak ditanya).  Kelima cara ini digunakan atau disesuaikan dengan karakter orang yang diperiksa.  Hasil pemeriksaan dituliskan dalam BAP.  Bentuk BAP dapat berupa cerita atau pernyataan, tanya jawab dan gabungan keduanya.  Agar BAP tersebut memperkuat pembuktian tentang telah terjadinya tindak pidana kehutanan, maka BAP setidaknya memenuhi beberapa pertanyaan pokok antara lain :
1. Apa yang terjadi (tindak pidana apa yang terjadi)
2. Dimana terjadi tindak pidana tersebut
3. Kapankah waktu kejadian
4. Siapakah korban, saksi dan pelakunya.
5. Dengan alat apa pelaku melakukan tindak pidana tersebut
6. Bagaimana cara melakukan tindak pidana
7. Mengapa perbuatan pidana itu dilakukan
8. dll untuk memenuhi unsur pasal yang dipersangkakan
6) Melakukan Analisa Perkara
Analisa perkara dilakukan untuk menganalisa alat-alat bukti, tentang apakah alat bukti yang diperoleh dalam perkara ini sudah cukup bukti sesuai pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Hasil analisa perkara akan memberikan gambaran atau kontruksi tindak pidana yang terjadi, tentang tindak pidana yang terjadi, unsur pasal yang dipersangkakan sudah cocok, wilayah hukum TKP, korban dan atau saksi yang menguntungkan atau merugikan, benda yang menjadi barang bukti dan peran masing-masing tersangka.
7) Menyusun Resume
Dari hasil analisa perkara tersebut, penyidik selanjutnya menyusun resume sebagai kesimpulan akhir  dari penanganan perkara, dengan menerapkan pasal pidana yang dipersangkakan pada masing-masing tersangka.  Resume yang disusun oleh penyidik harus menunjukkan pembuktian berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh selama proses penyidikan tindak pidana kehutanan sesuai dengan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan.
8) Melakukan pemberkasan
Pemberkasan dilakukan dengan menyusun berkas perkara sesuai dengan urutan-urutan lembaran kelengkapan administrasi penyidikan yang merupakan isi berkas perkara.


9) Menyerahkan berkas perkara tahap I dan II.
Pada tahap I, penyidik menyerahkan berkas perkara ke penuntut umum (Pasal 8 ayat (1) KUHAP).  Penuntut umum setelah menerima pelimpahan berkas dari penyidik wajib segera meneliti dan mempelajarinya dan dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik, apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap atau belum (Pasal 138 ayat (1) KUHAP). Apabila dalam tempo 14 hari sejak JPU  menerima berkas perkara tersebut tidak memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik, maka secara hukum berkas perkara tersebut dianggap sudah lengkap (Pasal 110 ayat (4) KUHAP). Apabila dari hasil penelitian JPU berpendapat bahwa berkas perkara tersebut belum lengkap atau tidak memenuhi syarat formil dan materil, JPU mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai dengan petunjuk yang harus dilengkapi (Pasal 138 ayat (2) KUHAP).
Namun apabila berkas tersebut sudah lengkap (P-21), penyidik selanjutnya melakukan penyerahan tahap II, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti.
Mencermati beberapa indikator keberhasilan dari mata diklat proses pemberkasan, maka dapat disimpulkan bahwa proses pemberkasan merupakan hasil akhir dari sebuah proses penyidikan tindak pidana.  Dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana, seorang penyidik harus cermat dalam mencari fakta-fakta yang menunjang pembuktian setiap unsur-unsur pasal yang dipersangkakan kepada tersangka.   Sehingga hakim menjatuhkan vonis kepada terdakwa karena memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

Pustaka :
Moeljanto. 2010. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Cetakan 20. Bumi Aksara. Jakarta.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Redaksi Bumi Aksara, 1990. KUHAP Lengkap, Bumi Aksara, Jakarta, cet.ke-2.
Soeharto. 2014. Administrasi Penyidikan. Pusat Diklat Resintel Polri. Mega Mendung Bogor.