Minggu, 18 Juni 2017

Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort

A. Latar Belakang
Kawasan konservasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan suaka alam yaitu cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam yaitu taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya, dan taman buru.
Berdasarkan Permenhut P.13/Menhut-II/2005 tanggal 6 Mei 2005, Direktorat Jenderal PHKA mengembang tugas untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi seluas 27.190.993 hektar.  Direktorat Jenderal PHKA memberikan tugas pengelolaan kepada unit-unit pelaksana teknis untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi guna menjamin kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya di wilayah kerjanya masing-masing.
Secara absolut, Unit Pelaksana Teknis dalam melakukan pengelolaan kawasan konservasi akan menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Secara ilmiah, menjaga dan melestarikan keanekaragamann hayati dan ekosistemnya dilakukan dengan menciptakan kondisi sedemikan rupa sehingga key features kawasan dapat berproses secara alami serta dapat dimonitor dinamikanya, termasuk dengan melakukan tindakan konservasi yang dilakukan.
Dalam pengelolaan kawasan konservasi muncul berbagai permasalahan seperti dihapusnya eselon V setingkat kepala resort, belum lengkapnya sistem kerja di tingkat resort dan tidak tersedianya anggaran kegiatan di resort mendorong ketidakjelasan pelaksanaan kegiatan minimal yang harus dilaksanakan di tingkat resot/lapangan.   Hal ini lebih lanjut mengakibatkan meningkatnya ketidakhadiran staf di lapangan.  Ketika lapangan ditinggalkan, maka kawasan seolah-olah menjadi tidak bertuan dan cenderung mengarah ke dalam situasi yang disebut sebagai “open acces” .
Pada situasi seperti inilah maka intensitas berbagai bentuk gangguan terhadap kawasan semakin meningkat. Gangguan tersebut terwujud dalam berbagai kegiatan illegal antara lain perambahan, penyerobotan, konflik batas, illegal logging, perburuan satwa dan pendudukan kawasan oleh berbagai pihak yang tidak bertanggungjawab. Gangguan ini akan semakin meningkat sebagai akibat rendahnya kehadiran staf  di lapangan.
Hal inilah yang mendasari perlunya pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort sehingga kehadiran staf di lapangan meningkat dan kegiatan-kegiatan minimal yang harus dilaksanakan di tingkat lapangan terlaksana dengan baik dan fungsi pencegahan terhadap meluasnya gangguan hutan tercapai.

B. Kondisi Pengelolaan Saat Ini
Pengelolaan kawasan konservasi saat ini dinilai belum efektif dan optimal.  Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator pengelolaan, antara lain keutuhan kawasan, tingkat gangguan kawasan (illegal logging, illegal mining, perburuan satwa dan flora langka, tumpang tindih kepentingan dengan sektor lain), ketersediaan sarana dan prasarana, sumber daya manusia dan penataan kawasan. Berdasarkan data dari UPT, total kerusakan hutan di kawasan konservasi sampai dengan 15 Juni 2009 seluas 460.407 hektar, yang terdiri dari taman nasional 315.424 hektar (1,9 % dari luas taman nasional) dan non taman nasional seluas 144.983 hektar (11,7 % dari luas kawasan non taman nasional) (Wiratno, 2010).
Tingginya tingkat kerusakan kawasan konservasi non taman nasional tersebut diatas antara lain disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a. Ukuran kawasan konservasi non taman nasional (cagar alam dan suaka margasatwa) relatif kecil dan terpencar. Rata-rata luas cagar alam adalah 18.000 hektar, dengan variasi luas cagar alam terkecil 0,03 hektar (Beringin Sakti di Sumatera Barat) dan cagar alam terluas 300.000 hektar (Enarotali di Papua).  Sedangkan rata-rata luas suaka margasatwa adalah 70.000 hektar, dengan variasi luas suaka margasatwa terkecil 25,02 hektar (Muara Angke) dan cagar alam terluas 2.018.000 hektar (Membramo-Foja di Papua.
b. Lokasi kawasan konservasi suaka alam yang tersebar dan terpencil, sehingga upaya pengamanan kawasan memerlukan biaya yang lebih besar dan kesiapan sumberdaya manusia yang lebih handal, termasuk bagaimana membangun strategi melibatkan masyarakat sekitar untuk ikut serta mengamankan kawasan.
c. Perubahan tata guna lahan untuk kepentingan pembangunan di sekitar kawasan suaka alam berdampak langsung pada terbukanya akses kedalam kawasan tersebut, sehingga dapat meningkatkan tekanan dan kerusakan pada kawasan.
d. Unit Pelaksana Teknis (UPT) KSDA, disamping mengelola kawasan (in-situ) juga mendapat mandat untuk memberikan pelayanan umum konservasi di luar habitatnya (ex-situ) yaitu membina, mengawasi dan melakukan penegakan hukum terhadap peredaran tumbuhan dan satwa liar di tingkat provinsi.
e. Masih rendahnya dukungan mitra untuk membantu UPT KSDA.  Sebagian mitra lebih mendukung pengelolaan kawasan taman nasional. Sementara itu, dukungan pemerintah daerah dirasakan juga kurang memadai, misalnya dalam hal pengembangan daerah penyangga atau sinergi program pembangunan daerah dengan kegiatan pengelolaan suaka alam.
Persoalan-persoalan kawasan yang dihadapi oleh pengelola kawasan yang mengakibatkan tingginya tingkat kerusakan hutan seperti tersebut di atas pada umumnya telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama.  Kompleksitas persoalan ini telah menyangkut kepentingan sektor lain (pertambangan, pembangunan jalan, waduk, jaringan transmisi listrik, energi listrik, tower telekomunikasi, areal (pencadangan) transmigrasi, pemukiman masyarakat), illegal logging, illegal fishing, perambahan, pendudukan kawasan, jual beli lahan, sertifikasi lahan kawasan, tumpang tindih atau konflik batas kawasan, tumpang tindih wilayah kabupaten baru dengan kawasan, dan sebagainya.
Demikian pula besaran persoalannya sudah sampai pada pendudukan kawasan oleh ribuan kepala keluarga, pembentukan desa-desa baru defenitif di dalam kawasan, penerbitan sertifikat tanah, hak guna usaha dalam waktu yang relatif lama. Persoalan baru seiring dengan otonomi daerah adalah munculnya puluhan kabupaten pemekaran dan bahkan provinsi baru yang sebagian atau seluruh wilayahnya berada di dalam kawasan konservasi.
Penyelesaian persoalan tersebut tidak dapat hanya dilakukan melalui proses penegakan hukum tanpa didukung oleh perubahan kebijakan pengelolaan dan dukungan kebijakan di tingkat nasional.  Persoalan  kawasan konservasi telah menjadi persoalan strategi nasional, yang sudah waktunya diselesaikan secara terpadu, sinergis dan dengan dukungan kebijakan nasional yang konsisten.

C. Mengapa Harus Resort ?
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada kawasan konservasi mengacu pada 3 pilar konservasi yaitu :
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kegiatan tersebut akan efektif dalam pencapaian tujuan pengelolaan apabila dikelola pada suatu unit manajemen terkecil.  Dalam pengelolaan hutan, selama ini kita mengenal adanya resort, dimana resort ini adalah satuan unit manajemen terkecil dalam pengelolaan hutan.  Sebagai unit terkecil, resort yang langsung berhadapan dan berinteraksi dengan masyarakat dan permasalahan-permasalahan di lapangan.  Sehingga dapat dikatakan bahwa resort merupakan kunci penentu keberhasilan kinerja pengelolaan kawasan konservasi.
Pembagian kawasan konservasi kedalam unit-unit pengelolaan terkecil perlu dilakukan berdasarkan potensi dan permasalahan, ketersediaan sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, aksesibilitas, serta prioritas pengembangan.  Pembagian wilayah kerja pengelolaan perlu  diikuti dengan penataan kelembagaan secara menyeluruh mulai dari tingkat Balai sampai dengan tingkat Resort.
Selanjutnya di dalam unit pengelolaan terkecil tersebut perlu dilakukan pembagian ke dalam blok-blok kawasan yang nantinya merupakan sasaran dari tindakan pengelolaan. Dengan tujuan pengelolaan yang demikian kompleks, maka solusi manajemen yang perlu diimplementasikan adalah pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort.

D. Tahapan Pengelolaan Berbasis Resort
Beberapa tahapan dalam implementasi pengelolaan berbasis resort adalah sebagai berikut :
1. Penataan Wilayah Kerja Resort
Sebagai langkah awal untuk terwujudnya optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort adalah penataan wilayah kerja resort. Penataan wilayah kerja resort meliputi peningkatan kelembagaan resort melalui peningkatan peranan petugas lapangan dalam melakukan berbagai kegiatan pengelolaan baik pada bidang perlindungan dan pengamanan hutan, monitoring dan pengendalian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta kegiatan lain yang bersifat pendekatan kepada masyarakat.
Penataan wilayah kerja resort dituangkan dalam peta kerja resort dalam bentuk :
a. Peta tematik pembagian wilayah kerja (Bidang/Wilayah/Seksi/ Resort), yang menunjukkan lokasi kantor Bidang/Wilayah/Seksi/ Resort).
b. Peta tutupan lahan kawasan hutan.
c. Peta tipologi daerah penyangga
d. Peta indikatif Zonasi Kawasan.
e. Peta batas kawasan, batas administratif Kabupaten/Propinsi
f. Peta jaringan jalan
g. Peta DAS, Sub DAS, Sungai
h. Peta potensi kawasan-ekowisata, air, hasil hutan non kayu.
2. Penataan Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manuasia (SDM) merupakan modal pokok bagi satu unit pengelola dalam menjalankan berbagai kegiatan pengelolaan terutama kegiatan Assesment biodiversity and ecosistym serta penentuan Key features biodiversity sebagai pedoman awal bagi keberlanjutan pengelolaan disamping upaya perlindungan dan pengamanan hutan.
Penataan SDM pada setiap Resort diupayakan terdiri dari beberapa personil yang meliputi  Polisi Kehutanan sebagai tenaga pengamanan hutan, Pengendali Ekosistem Hutan sebagai penghimpun data potensi sumberdaya alam yang ada di wilayah Resort dan Penyuluh Kehutanan sebagai tenaga penyuluhan.
Pada masing-masing Resort dibentuk Struktur organisasi Resort yang terdiri dari Kepala Resort dan Anggota Resort.  Struktur ini didukung oleh :
a. Tata hubungan kerja internal
b. Sistem kerja di setiap Seksi Wilayah ke Resort.
c. Pola hubungan kerja internal-eksternal (kemitraan, kolaborasi, kerjasama, kontrak kerja
d. Perencanaan berbasis resort, yang disebut sebagai perencanaan bottom-up, berbasis kondisi dan ragam sumberdaya, profil/tipologi resort dan aspirasi lokal atau setempat.
e. Sistem monitoring dan evaluasi internal dan multipihak.

3. Perencanaan Kegiatan
Pengelolaan berbasis Resort bukan hanya sekedar meningkatkan kapasitas pengelolaan pada level Resort yang didukung dengan sarana dan prasarana serta kepercayaan terhadap pengelolaan anggaran operasional Resort, akan tetapi pengelolaan berbasis Resort merupakan suatu alur mekanisme pengelolaan yang saling berkesinambungan baik secara hirarkis maupun  secara teknis terhadap berbagai kegiatan yang memberikan keluaran hasil sebagaimana yang telah ditetapkan dalam suatu perencanaan Balai.
Perencanaan kegiatan dilaksanakan melalui beberapa diskusi dan penyusunan rencana kegiatan serta inventarisasi kebutuhan penunjang kegiatan Resort.  Kegiatan yang merupakan operasional Resort nantinya diharapkan memadukan antara kegiatan pengamanan hutan, inventarisasi potensi,  monitoring dan kegiatan yang berhubungan dengan pendekatan kemasyarakatan  yang dilakukan di masing-masing Resort.
Perencanaan kegiatan minimal operasional Resort harus mencakup Tiga  Pilar Konservasi yaitu Perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, dan Pemanfaatan secara lestari.  Kegiatan minimal operasional Resort ini merupakan tugas minimal yang harus dikerjakan oleh Resort  yang diselaraskan dengan  tupoksi jabatan fungsional personil Resort yaitu Polhut, PEH dan Penyuluh.

D. Penutup
Untuk mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort dibutuhkan komitmen dari setiap UPT dalam merencanakan pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort.  Komitmen ini harus didukung dalam implementasi penganggaran yang berpihak ke lapangan dan mendukung kerja lapangan (patroli, penjagaan, pemantauan habitat, anjangsana ke desa-desa/kampung terdekat dan sebagainya).

PUSTAKA
Anonim., 2010.  Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Resort, Pengalaman 4 Tahun Implementasi di TN. Alas Purwo.  Bahan Presentasi Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar.  Balai Taman Nasional Alas Purwo.

_______, 2010a.  Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort Sebagai Salah Satu Opsi Dalam Efesiensi dan Efektifitas Pengelolaan yang Berkelanjutan.  Bahan Presentasi Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar.  Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan.

Wiratno, Ir., M.Sc., 2010.  Arah Pengelolaan Kawasan Konservasi Ke Depan.  Makalah Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar.  Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

_______________, 2010a  Penataan Kawasan Konservasi  Makalah Pertemuan Koordinasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Resort pada Tanggal 24 Juni 2004 di Makassar.  Kementerian Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar