Minggu, 18 Juni 2017

P.30/MENHUT-II/2012, REGULASI PRO RAKYAT YANG MENGKHAWATIRKAN PETUGAS KEHUTANAN


Abstract
P.30/Menhut-II/2012 discharge of Administration of Forest Products derived from private forest welcomed by all the people of Indonesia. But on the other hand looks to concerns some forestry officers in the area who think that the discharge resulted P.30/Menhut-II/2012 no longer authority Polhut forest officials particularly in supervising trading of forest products derived from the private forest. This rule is expected to have the support of all parties to encourage a community-based forest enterprises and expand employment, poverty reduction and economic growth
Keywords: Administration, Forest Products, Private Forests
Sejak Tahun 2006, telah terjadi pemisahan antara penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan Negara  dan hutan hak. Namun dalam implementasinya, masyarakat masih merasakan “sulitnya” mengurus izin pada saat memanen atau menebang pohon yang mereka tanam.  Sehingga masyarakat masing enggan menanam pohon, apalagi dengan kesadarannya mendukung program pemerintah “gerakan menanam 1000 pohon”.
Permasalahan ini sering disampaikan dan didiskusikan pada saat rapat, baik di daerah, ditingkat regional dan bahkan nasional, perlu adanya regulasi yang sifatnya pro rakyat. Masyarakat agar diberi kemudahan bukan hanya pada saat menanam, tetapi mudah juga pada saat memanen. Memenuhi kebutuhan ini, pada tanggal 17 Juli 2012 Menteri Kehutanan Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.30/MENHUT-II/2012 tentang Penataan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Hak.
Keluarnya P.30/Menhut-II/2012 disambut gembira oleh segenap masyarakat Indonesia, karena “jika sesuai dengan peraturan” rakyat akan lebih mudah dan dilindungi privatisasinya dalam memiliki, mengangkut dan memperniagakan kayu yang mereka tanam sendiri. Namun disisi lain terlihat adanya kekhawatiran beberapa petugas kehutanan di daerah yang menganggap bahwa keluarnya P.30/Menhut-II/2012 mengakibatkan tidak adanya lagi kewenangan petugas kehutanan khususnya Polhut dalam melakukan pengawasan peredaran hasil hutan yang berasal dari hutan hak.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Regulasi P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Hak.

Regulasi P.30/MENHUT-II/2012
Penatausahaan Hasil Hutan adalah kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan/ peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. Penatausahaan hasil hutan (PUHH) pada prinsipnya adalah sistem monitoring peredaran hasil hutan yang mengalir secara konsisten dari hulu sampai ke hilir.
PUHH Kayu Rakyat adalah PUHH pada hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah yang berada   di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas title atau hak atas tanah. Maksud PUHH Pada Kayu Rakyat adalah: 1.) Untuk melindungi hak-hak yang merupakan milik rakyat, 2.) Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat pemilik kayu, 3.) Menghindari campur aduknya penatausahaan hasil hutan dari hutan negara, dan 4.) Menghindari penerapan sanksi yang tidak proporsional.

1. Alas Titel
Berdasarka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.30/Menhut-II/2012 menyebutkan bahwa bukti pemilikan lahan hak adalah berupa:
a. Sertifikat Hak Milik, atau Leter C, atau Girik
b. Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pakai
c. Surat atau dokumen lainnya yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan lainnya yang berada di luar kawasan hutan dan diakui Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Point C dimaksud diatas dapat berupa surat atau dokumen yang didalam Peraturan Pemerintah Nomor : 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, berupa :
a. Surat tanda hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan Swapraja;
b. Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan PMA Nomor 9 Tahun 1959;
c. Petuk, Pajak Bumi/Landrente, Girik, Pipil, Kikitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP Nomor 10 Tahun 1961;
d. Akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda tangan saksi Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan, yang dibuat sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997;
e. Akta pemindahan hak yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan, dengan disertai alas hak yang dialihkan;
f. Akta ikrar wakaf;
g. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan, dengan disertai alas hak yang dialihkan;
h. Surat Keterangan riwayat tanah yang dibuat oleh Kantor Pelayanan PBB;
i. Surat penunjukan atau pembelian kavling tanah pengganti yang diambil oleh Pemda;
j. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, jika mengenai tanah hak;
k. Apabila tidak ada surat bukti kepemilikan, maka diperlukan "Surat Pernyataan Penguasaan Fisik" atas tanah lebih dari 20 tahun secara terus menerus dan disaksikan oleh 2 orang tetua adat/penduduk setempat;
l. Dokumen-dokumen lain sebagai alat pembuktian tertulis sebagaimana dimaksud dalam pasal II. VI dan VII Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok  Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
2. Dokumen Legalitas Kayu Rakyat
Dokumen legalitas kayu rakyat merupakan surat keterangan sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. Setiap hasil hutan hak yang akan diangkut dari lokasi tebangan atau tempat pengumpulan di sekitar tebangan ke tujuan, wajib dilengkapi Nota Angkutan/Nota Angkutan Penggunaan Sendiri/ SKAU, yang merupakan dokumen angkutan hasil hutan dari hutan hak yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia. Dokumen angkutan / surat keterangan asal usul hasil hutan yang berasal dari hutan hak berupa :
1). Nota Angkutan
Nota Angkutan adalah dokumen angkutan yang merupakan surat keterangan yang menyatakan penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan hasil hutan hak (kayu bulat atau kayu olahan rakyat) sesuai dengan jenis kayu yang ditetapkan atau pengangkutan lanjutan semua jenis kayu (Pasal 1 huruf 5 Permenhut P.30/Menhut-II/2012). Sehingga Nota Angkutan dipakai sebagai dokumen asal maupun dokumen angkutan lanjutan (dengan mencantumkan nomor SKAU asal).
Nota Angkutan digunakan untuk :
23 Jenis kayu dari hutan hak yang diangkut dengan dokumen Nota angkutan, yaitu : Cempedak, Dadap, Duku, Jambu, Jengkol, Kelapa, Kecapi, Kenari, Mangga, Manggis, Melinjo, Nangka, Rambutan, Randu, Sawit, Sawo, Sukun, Trembesi, Waru, Karet, Jabon, Sengon dan Petai.
Semua jenis kayu yang merupakan angkutan lanjutan selain dari pelabuhan umum.
Pengadaan blanko dan pengisian Nota Angkutan dibuat oleh pembeli atau pemilik dan ditandatangani oleh pemilik hasil hutan hak dan tidak perlu ditetapkan Nomor Seri.
Penerbit Nota Angkutan adalah pemilik kayu yang dibuktikan dengan alas titel. Namun bila Nota Angkutan merupakan dokumen angkutan lanjutan, maka penerbitnya adalah pemilik kayu (yg sekarang) dengan mencantumkan nomor SKAU asal.
2.) Nota Angkutan Penggunaan Sendiri
Nota Angkutan Penggunaan Sendiri adalah dokumen angkutan untuk semua jenis kayu hutan hak untuk keperluan sendiri atau fasilitas umum yang dibuat oleh pemilik hasil hutan hak dengan tujuan selain Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu, Industri Pengolahan Kayu Terpadu, Industri Pengolahan Kayu Lanjutan dan Tempat Penampungan Terdaftar (Pasal 1 huruf 6 Permenhut P.30/Menhut-II/2012).
Nota Angkutan Penggunaan Sendiri dibuat oleh pemilik hasil hutan hak yang bersangkutan sebanyak 1 (satu) lembar untuk menyertai pengangkutan kayu.
3. Surat Keterangan Asal Usul (SKAU)
Dalam Permenhut P.30/Menhut-II/2012 Pasal 1 huruf 7 disebutkan Surat Keterangan Asal Usul yang selanjutnya disingkat SKAU adalah dokumen angkutan yang merupakan surat keterangan yang menyatakan penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan hasil hutan hak (kayu bulat dan kayu olahan rakyat).
Pengadaan blanko SKAU dibuat oleh pembeli atau pemilik dan pengisian serta penerbitannya oleh penerbit SKAU. Penetapan Nomor Seri SKAU dilakukan oleh masing-masing penerbit SKAU, dengan memberikan nomor urut 00001 dan seterusnya.
Terdapat 3 (tiga) penerbit SKAU sebagai berikut:
a) Kepala Desa/Lurah atau Perangkat Desa/Kelurahan ditempat hasil hutan hak tersebut akan diangkut yang telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota atas nama Bupati/Walikota, dengan persyaratan Kepala Desa/Lurah atau Perangkat Desa/Kelurahan tersebut memiliki Surat Keterangan telah mengikuti pembekalan pengukuran dan pengenalan jenis kayu dari hutan hak yang diselenggarakan oleh Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota/Balai.
b) Petugas Kehutanan berkualifikasi Wasganis PHPL PKBR/PKBJ yang memiliki Surat Perintah Tugas dari Kepala Dinas Kabupaten/Kota, apabila penerbit SKAU di desa tersebut atau di desa terdekat tidak ada.
c) Penerbit SKAU secara self assessment yaitu pemilik/personil yang ditunjuk mengikuti pembekalan pengukuran dan pengenalan jenis kayu pada hutan hak yang telah mendapat sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)
4). Surat Angkutan Pengganti (SAP).
Surat yang dipergunakan dalam pengangkutan hasil hutan hak dari pelabuhan umum ke tempat tujuan dokumen Nota Angkutan atau Nota Angkutan Penggunaan Sendiri atau SKAU yang diterbitkan oleh petugas perusahaan penerima kayu.
Pengadaan blanko SAP dibuat sendiri oleh pemilik hasil hutan hak dan diterbitkan oleh pembeli/pemilik hasil hutan.
Penerbit SAP adalah pemilik/pembeli hasil hutan hak yang  dibongkar di pelabuhan umum.

3. Proses penerbitan dokumen angkutan:
1). Nota Angkutan
Setelah mengetahui jenis, jumlah batang dan volume/berat baik kayu bulat maupun kayu olahan, maka pemilik hasil hutan hak langsung bisa menerbitkan Nota Angkutan.
2). Nota Angkutan Penggunaan Sendiri
Setelah mengetahui jenis, jumlah batang dan volume/berat baik kayu bulat maupun kayu olahan, maka pemilik hasil hutan hak bisa menerbitkan Nota Angkutan Penggunaan Sendiri.
3). SKAU
Permohonan penerbitan dokumen SKAU diajukan kepada penerbit SKAU, dengan cara : a.) menyampaikan jenis, jumlah batang/bundel/ikat, volume/berat yang akan diangkut; b.) menyampaikan asal lokasi dengan melampirkan bukti alas titel/hak atas tanah dengan menggunakan format Lampiran III Permenhut P.30/Menhut-II/2012.
Tugas Penerbit SKAU adalah melakukan pemeriksaan kelengkapan administrasi dan pemeriksaan fisik yang diajukan pemilik hasil hutan hak.
Pemeriksaan kelengkapan administrasi, dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan atas kebenaran asal usul hasil hutan hak dan kepemilikannya yaitu dengan mengecek dan memastikan bahwa hasil hutan hak tersebut berasal dari lokasi yang benar yang dibuktikan dengan adanya alas titel/hak atas tanah.
Pemeriksaan fisik dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan berupa penetapan jenis, pengukuran volume/berat, dan penghitungan jumlah hasil hutan hak yang akan diangkut.
Dalam rangka pemeriksaan fisik, Penerbit SKAU dapat dibantu oleh tenaga yang memahami pengukuran hasil hutan.
Hasil pemeriksaan fisik dimasukkan dalam Daftar Kayu Bulat/Kayu Olahan (DKB/DKO) sebagai dasar penerbitan dokumen SKAU.
Penerbit SKAU selanjutnya menerbitkan SKAU, apabila dari hasil pemeriksaan kelengkapan administrasi dan pemeriksaan fisik telah dinyatakan benar.
4). SAP
Hasil hutan hak yang mengalami bongkar di pelabuhan umum yang dokumen asalnya Nota Angkutan, Nota Angkutan Penggunaan Sendiri dan SKAU; maka dokumen lanjutannya adalah Surat Angkutan Pengganti (SAP).
Jika yang diangkut kayu bulat/kayu bulat sedang, penerbit SAP harus mencantumkan nomor batang, jenis kayu, jumlah batang, panjang, diameter dan volume/berat.
Jika yang diangkut kayu olahan, penerbit SAP harus mencantumkan jenis kayu, jumlah batang/bundle/ikat dan volume/berat.
Setelah mengetahui semua persyaratan tersebut di atas, pemilik/pembeli hasil hutan hak menerbitkan SAP.
SAP merupakan bagian dari dokumen asal

4. Tanaman Hasil Budidaya dan Pohon Tumbuh Alami
 “Tanaman hasil budidaya” dan “pohon yang tumbuh secara alami”. Yaitu dalam Pasal 1 ayat (3) dan pasal 3 ayat (2) P.30/Menhut-II/2012.
“Tanaman hasil budidaya yang dimaksud adalah tanaman pohon yang ditanam sendiri oleh pemilik lahan atau pohon tersebut telah tumbuh di areal hak milik tanpa ditanam oleh pemilik lahan setelah terbitnya alas title”. Penatausahaannya mengikuti  ketentuan dalam Permenhut Nomor P.30/Menhut-II/2012.
Sedangkan  pada prinsipnya kayu yang tumbuh alami atau tumbuh sendiri  sebelum terbitnya alas titel, maka dìkategorikan sebagai pohon atau kayu tumbuh alami. Pemanfaatan hasil hutan kayu yang berasal dari pohon yang tumbuh secara alami dalam kawasan hutan yang telah berubah status dari kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) dan telah dibebani hak, seperti HGU, Hak Pakai, dan bentuk perizinan lainnya yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), mengikuti ketentuan Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Negara (Permenhut P.30/Menhut-II/2012 Pasal 3 Ayat  2). Penjelasan terhadap pasal tersebut sebagaimana diatur dalam Surat Direktur BIKPHH No. S.905/BIKPHH-2/2012 sebagai berikut  :
1) Terhadap pohon yang tumbuh secara alami tersebut  sebelum dilakukan penebangan oleh pemilik lahan, agar dilakukan inventarisasi tegakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota setempat dan terhadap hasil produksinya dikenakan pungutan PSDH, DR dan Penggantian Nilai Tegakan.  Sedangkan terhadap pohon yang tumbuh secara alami pada lahan APL murni (APL yang bukan dari perubahan kawasan hutan) dan pada lahan masyarakat berdasarkan bukti penguasaaan tanah sebelum terbitnya alas title, tetap dikanakan pungutan PSDH dan DR.
2) Pengangkutan kayu dari pohon yang tumbuh alami di atas menggunakan SKSKB yang diterbitkan oleh petugas kehutanan yang berkualifikasi dan ditunjuk oleh  Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
3) Apabila masih terdapat stock kayu yang berasal dari hasil penebangan pohon alami dan telah dipenuhi kewajiban kepada Negara serta belum ternagkut sampai dengan tanggal 19 Agustus 2012, maka terhitung sejak tanggal 20 Agustus 2012 pengangkutan kayu dilakukan setelah adanya Berita Acara Pemeriksaan Stock oleh Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota setempat.

Tanggapan Petugas Kehutanan
Keluarnya regulasi P.30/Menhut-II/2012 menimbulkan kontroversi bagi petugas kehutanan, antara lain mengatakan bahwa regulasi ini terlalu berpihak kepada rakyat dan mengurangi kewenangan petugas kehutanan khususnya “Sebagian Polhut” yang biasa bertugas di Pos-Pos pemeriksaan hasil hutan di pinggir jalan.  Terbitnya aturan ini juga menghawatirkan akan semakin hancurkan hutan di Indonesia, dimana aturan ini akan menjadi modus baru dalam penatausahaan hasil hutan dimana  pengawasan asal usul kayu yang belum berjalan dengan baik di kawasan hutan sehingga kayu yang berasal dari kawasan hutanpun menggunakan dokumen kayu rakyat.
Sementara ada juga yang beranggapan bahwa sudah saatnya Polhut Back to Forest untuk mengawasi kayu yang berasal dari kawasan hutan sehingga fungsi polhut untuk mencegah dan membatasi terjadinya kerusakan kawasan hutan akan berjalan sebagaimana yang diharapkan dengan lebih mengintensifkan kegiatan rutinnya seperti kegiatan penjagaan dan patroli dalam kawasan hutan.  Dengan terawasinya kayu dari kawasan hutan, maka pengangkutan kayu dengan menggunakan dokumen kayu rakyat legalitas asal usul kayunya tidak perlu diragukan lagi.
Mencermati hal tersebut diatas, maka dibutuhkan SDM yang berkualitas dan berakhlak mulia.  Karena sebenarnya kekuatiran itu bisa diminimalkan, jika saja semua stakeholder memiliki akhlak mulia sehingga mampu bekerja dengan hati dan sesuai aturan.  Dengan P.30 Tahun 2012 tentang PUHH yang berasal dari hutan hak, diharapkan mendapat dukungan dari semua pihak dalam mendorong usaha kehutanan berbasis kerakyatan dan memperluas lapangan kerja, pengentasan kemiskinan serta pertumbuhan ekonomi.  Olehnya itu, tantangan buat dinas kehutanan daerah adalah bagaimana caranya agar Polhut kembali bertugas menjaga kawasan hutannya dan bagaimana membangun penerbit SKAU/nota angkutan/nota angkutan penggunaan sendiri yang berkarakter (berakhak mulia), segera menyelesaikan permasalahan tata batas hutan dan pelatihan bagi penerbit SKAU dan bagi masyarakat.

Pustaka :
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Yang Berasal Dari Hutan Hak
Surat Direktorat BIKPHH No. S.905/BIKPHH-2/2012 tentang Penjelasan Pelaksanaan Permenhut P.30/Menhut-II/2012
Surat Edaran menteri Kehutanan No. SE.03/Menhut-VI/BIKPHH/2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Kayu Dari pohon Yang Tumbuh Secara Alami Dalam Areal Penggunaan Lain Dan Telah Dibebani Hak




Tidak ada komentar:

Posting Komentar