A. Latar Belakang
Hutan
merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung
keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan
non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena
itu, pemanfaatan dan perlindungan hutan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan dan beberapa
keputusan Dirjen PHKA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.
Meskipun pemanfaatan dan perlindungan telah diatur dalam
berbagai aturan perundang-undangan, namun sampai saat ini gangguan terhadap
sumber daya hutan terus berlangsung. Sampai dengan tahun 2005, pemerintah telah
menetapkan kawasan hutan seluas 126,8 juta ha dengan fungsi konservasi (23,2
juta ha), lindung (32,4 juta ha), produksi terbatas (21,6 juta ha), produksi
(35,6 juta ha) dan produksi yang dapat dikonversi (14,0 juta ha), (Dephut, 2006a).
Sumardi dan Widyastuti (2004) menuliskan bahwa
dari angka resmi luasan kawasan hutan, luas hutan yang sebenarnya ada hanya
sekitar 75% dari luas kawasan hutan. Hutan banyak mengalami kerusakan sehingga
luasnya pun mengalami penyusutan dengan laju yang sangat tinggi (Dephut, 2006b).
Laju kerusakan hutan selama 12 tahun (periode 1985 - 1997) untuk pulau Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi mencapai rata-rata 1,6 juta ha per tahun, bahkan pada
periode 1997 – 2000 deforestasi di lima pulau besar mencapai rata-rata sebesar
2,83 juta ha per tahun, kerusakan ini termasuk kerusakan hutan akibat kebakaran
hutan pada tahun 1997 – 1998 seluas 9,7 juta ha. Hal ini telah
menempatkan kegiatan rehabilitasi dan konservasi kawasan hutan sebagai sasaran
strategis pembangunan kehutanan kedepan (Dephut,
2006b).
Dalam rangka
mempertahankan ekosistem dan keanekaragaman hayatinya, sampai dengan tahun 2006
Pemerintah telah menetapkan kawasan konservasi daratan dan perairan yaitu : 50
unit Taman Nasional (TN), 124 unit Taman Wisata Alam (TWA), 21 unit Taman Hutan
Raya (TAHURA), 14 unit Taman Buru (TB), 249 unit Cagar Alam (CA), dan 77 unit
Suaka Margasatwa (SM) (DEPHUT, 2006a). Untuk
mempertahankan fungsi dan keberadaan kawasan hutan tersebut perlu mengetahui
prosedur perlindungan dan pengamanan hutan.
B. Perlindungan Hutan
Perlindungan
hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran,
daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak
negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Dephut,
2004).
Prinsip yang penting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah pencegahan
awal perkembangan penyebab kerusakan jauh lebih efektif daripada memusnahkan
perusak setelah menyerang. Dalam tahun-tahun terakhir ini anggapan bahwa pencegahan merupakan sistem
yang lebih penting dalam perlindungan hutan telah diterima secara meluas. Tetapi hal ini masih tetap diragukan apakah
perluasan ide ini melalui sistem silvikultur dan forest management dalam jangka
waktu panjang dianggap sudah cukup menguntungkan. Pencegahan melalui aplikasi manajemen dan
silvikultur memerlukan waktu panjang,
tetapi hasilnya akan lebih abadi dan lebih murah dibandingkan metode
pemberantasan secara langsung (Mappatoba dan Nuraeni, 2009).
Perlindungan
hutan tidak hanya menghadapi bagaimana mengatasi kerusakan pada saat terjadi
melainkan lebih diarahkan untuk mengenali dan mengevaluasi semua sumber
kerusakan yang potensil, agar kerusakan yang besar dapat dihindari, sehingga
kerusakan hutan dapat ditekan seminimal mungkin dari penyebab-penyebab
potensil (Sumardi
dan Widyastuti , 2004).
Saat ini,
masalah perlindungan dan pengamanan hutan adalah masalah yang cukup kompleks
serta dinamis. Dengan adanya perkembangan
diberbagai bidang dan perubahan dinamika di lapangan, maka terjadi pula
perkembangan permasalahan perlindungan dan pengamanan hutan, mulai dari
perladangan berpindah dan perladangan liar/perambahan yang dilakukan oleh warga
masyarakat yang sederhana, sampai pencurian kayu dan penyelundupan satwa yang
didalangi oleh bandit berdasi (Mappatoba dan
Nuraeni , 2009).
Fenomena
perlindungan hutan ini sebenarnya potensial menjadi sumber kerugian bagi
kehutanan, hanya saja selama ini sangat langkah atau tidak ada data yang mampu
menunjukkan besarnya angka kerugian tersebut.
Pencurian hasil hutan yang selama ini mampu dikemukakan data-data
kerugiannya secara kuantitatif akhirnya menjadi kunci pengambilan keputusan di
dalam melaksanakan kebijaksanaan di bidang perlindungan hutan, padahal
pencurian ini sebenarnya adalah permasalahan sosial ekonomi dan bukan permasalahan
teknis perlindungan hutan (Achmad Sulthoni, 2002).
Dalam hubungannya dengan tindakan pengelolaan, pencegahan
dalam konsep perlindungan hutan didekati melalui :
1).
Pengambilan keputusan terhadap langkah atau tindakan
untuk mencegah agar penyebab kerusakan tidak berkembang dan tidak menimbulkan
kerusakan yang serius.
2).
Pengembangan suatu bentuk pengelolaan hutan yang
”hati-hati” dan berwawasan masa depan.
(Sumardi dan Widyastuti , 2004).
Jadi,
asas perlindungan hutan mengutamakan pencegahan awal terjadinya atau
perkembangan suatu kerusakan hutan melalui perencanaan silvikultur dan
pengelolaan yang baik Hal ini akan lebih
efektif daripada pengendalian langsung setelah kerusakan yang besar
terjadi. Dalam prinsip perlindungan
hutan, tindakan proaktif dikedepankankan dan tindakan reaktif sedapat mungkin
dihindari (Sumardi dan Widyastuti , 2004).
C. Pengamanan Hutan
Pengamanan
hutan adalah segala kegiatan, upaya dan usaha yang dilaksanakan oleh aparat
kehutanan dan dukungan instansi terkait dalam rangka mengamankan hutan dan
hasil hutan secara terencana, terus menerus dengan prinsip berdaya guna dan
berhasil guna (Dephut, 1995).
Secara Fungsional Pengamanan Hutan dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas)
Pengamanan Hutan yang berkedudukan di Dinas-dinas Propinsi, Kabupaten/Kota yang
menangani bidang Kehutanan, dan UPT Departemen Kehutanan (Dephutbun,
1998).. Sedangkan
Pengamanan Hutan di areal hutan yang telah dibebani Hak dilaksanakan oleh
Satuan Pengamanan Hutan pemegang hak tersebut, yang dikenal dengan sebutan
Satpam Pengusahaan Hutan (Dephut, 1995).
(Dephut,
1995), Prosedur
pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan secara fungsional adalah :
1.
Perencanaan
Perencanaan dalam
bentuk program kerja operasional dibuat secara berjenjang. Perencanaan kegiatan berisi perkiraan hal-hal
yang dibutuhkan seperti personil, logistik/transportasi, serta penentuan cara
bertindak (Penyuluhan, preemtif, preventif dan refresif).
2.
Pelaksanaan
Pelaksanaan
kegiatan pengamanan hutan meliputi :
a.
Pelaksanaan kegiatan pengamanan hutan fungsional dalam
bentuk :
1).
Kegiatan deteksi yaitu membuat perkiraan keadaan atas
kemungkinan terjadinya gangguan terhadap hutan dan hasil hutan dengan
dilengkapi data pelaku pelanggar hukum, tokoh masyarakat disekitar hutan,
ploting peta kerawanan dan penggalangan yang berencana dan terus menerus.
2).
Kegiatan kesamaptaan, yaitu pelaksanaan tugas yang
bersifat rutin dan selektif, dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan atas
hutan dan hasil hutan. Kegiatan
Kesamaptaan terdiri dari :
·
Patroli berlanjut, rutin dan selektif.
·
Penjagaan di tempat-tempat yang telah ditentukan.
·
Pengawalan hal-hal tertentu.
·
Pemeriksaan surat-surat atau dokumen yang berkaitan
dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah sekitar
hutan (kring)
3).
Kegiatan Bimbingan Masyarakat yang dilaksanakan dalam
bentuk :
·
Penyuluhan kepada masyarakat.
·
Program Bina Desa, seperti perbaikan pengairan, bantuan
ternak, bantuan bibit pohon, sarana ibadah, tumpang sari dan sebagainya.
4).
Kegiatan refresif atau penegakan hukum dengan mengamankan
tempat kejadian (tersangka dan barang bukti), membuat dan menandatangani
laporan kejadian, dan selanjutnya segera melaporkan/menyerahkan masalah
tersebut kepada Penyidik PNS kehutanan atau Penyidik Polri.
b.
Pelaksanaan kegiatan operasi pengamanan hutan dalam
bentuk :
1).
Operasi Rutin
Operasi rutin
adalah kegiatan satuan tugas wilayah dan atau satuan tugas resort Polisi
Kehutanan yang terus menerus dilaksanakan dengan tujuan :
·
Mencegah timbulnya gangguan terhadap hutan dan hasil
hutan
·
Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat tentang perlunya
menjaga kelestarian hutan.
·
Pendataan atau pembuatan peta kerawanan hutan.
·
Mengupayakan penyelesaian kasus-kasus bidang kehutanan.
·
Sifat kegiatan ini adalah : dilaksanakan secara terus
menerus sesuai jadwal dan secara selektif, dibuatkan jurnal kegiatan, setiap
kasus-kasus kecil diselesaikan sampai tuntas, lebih menonjolkan fungsi
penyuluhan dan tindakan preventif, serta melaporkan hasil pelaksanaan tugas
secara periodik kepada pimpinan satu tingkat diatasnya.
2).
Operasi Gabungan
Pelaksanaan
operasi gabungan didahului dengan persiapan :
a.
Pulahjianta pelaku, jaringan kejadian, modus operandi,
otak atau penggerak, tempat pengumpul dan penadah.
b.
Penyusunan personil dan pembagian tugas.
c.
Dukungan logistik / dana dan formulir isian hasil
operasi.
d.
Operasi gabungan dilaksanakan hanya pada tingkat Instansi
Kehutanan Dati II
c.
Gelar Operasional
Gelar operasional
rutin diadakan setiap bulan pada tingkat Instansi Kehutanan Dati II dan
triwulan pada tingkat Instansi Kehutanan
Dati I, dengan maksud :
1).
Saling tukar menukar informasi.
2).
Mengadakan gelar perkara untuk kasus pidana kehutanan.
3).
Paparan jurnal kejadian pelanggaran
3.
Pengawasan dan pengendalian
Pengawasan dan
pengendalian dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi, wewenang dan
penerapan peraturan perundang-undangan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
4.
Mekanisme Koordinasi
5.
Penyelesaian Administrasi
D. Strategi Perlindungan dan Pengamanan Hutan
Evans
(1982) dalam Sumardi dan Widyastuti (2004)
merumuskan asas strategi perlindungan hutan yang dapat digunakan untuk
mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, yaitu :
1). Memahami
interaksi hutan dengan agens perusak sehingga :
a.
Dapat mengenali faktor-faktor yang menyebabkan masalah
dalam perlindungan hutan.
b.
Dapat mengenali penyebab kerusakan primer.
2). Dapat
menganalisis dan mengambil keputusan secara meneyeluruh dan tidak hanya
terbatas pada penyebab kerusakan yang paling serius saja.
3). Selalu
melihat perlindungan hutan sebagai tindakan yang tidak terpisah dari
silvikultur.
4). Sadar
bahwa perlindungan hutan semakin penting dan pendekatannya tidak hanya terbatas
pada bidang tanaman tapi termasuk hasil hutannya.
Strategi perlindungan hutan selain menjamin kelestarian pengelolaan juga
dapat menjamin pengelolaan hutan beresiko rendah. Pengembangan strategi
perlindungan hutan seringkali dihadapkan pada banyak kendala diantaranya :
1).
Nilai hutan pada umumnya lebih rendah dibanding
pertanaman jenis perkebunan atau pertanian.
Secara ekonomi, perhitungan hasil hutan per hektar per tahun masih di bawah
sektor perkebunan dan pertanian. Saat
terjadi kerusakan, tindakan yang akan dilakukan harus mempertimbangkan nilai
ekonominya.
2).
Luasan yang besar dan bervariasi.
Luasnya hamparan dan variasi kondisi hutan merupakan sumber variasi
faktor-faktor dominan yang berperanan dalam perkembangan hutan. Perbedaan yang mencolok dapat menimbulkan
konsekuensi perbedaan pilihan perlakuan perlindungan hutan yang dilaksanakan.
3).
Lokasi dan persebaran tidak mudah terjangkau.
Lokasi dan persebaran hutan seringkali menjadi kendala, terutama bila
kawasan hutan beada pada daerah dengan konfigurasi tofografi yang berbukit
curam. Bila perlakuan perlindungan hutan
dilaksanakan secara langsung, misalnya pemadaman kebakaran, maka lokasi yang
sulit dijangkau akan merupakan faktor kendala yang sangat berarti.
4).
Umurnya panjang
Hutan terbentuk dan berkembang dalam kurung waktu yang lama dalam proses
yang disebut suksesi. Lama waktu
pembentukan dan perkembangan hutan sangat bervariasi tergantung dari tipe
hutan. Hutan alam dikenal terbentuk dan
berkembang dalam kurung waktu yang sangat lam, sementara hutan tanaman dapat
berotasi dalam waktu relatif pendek misalnya 5 – 15 tahun.
E. PENUTUP
Perlindungan hutan merupakan prosedur yang sesuai dan
cocok dengan sistem perencanaan pengelolaan hutan. Ini berarti sumber-sumber kerusakan potensial
sedapat mungkin dikenali dan dievaluasi sebelum kerusakan besar terjadi. Dengan
asas seperti ini, penyebab kerusakan yang mengancam hutan dapat ditekan pada
waktunya dengan hasil yang efektif.
Karena terkadang penyebab kerusakan hutan memicu penyebab-penyebab
kerusakan yang lain, sehingga perlu mengetahui penyebab primernya dan menyusun
rencana tindakan perlindungan untuk menghindari atau menekan kerugian akiban
kerusakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan, 1995.
Keputusan Menteri Kehutanan No: 506/Kpts-II/ 1995 tentang Petunjuk
Teknis Pengamanan Hutan Secara Fungsional di Daerah Tingkat II.
Departemen Kehutanan, 2004.
Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Jakarta.
Departemen Kehutanan, 2006a. Booklet
Data Kawasan Konservasi Indonesia.
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Bogor.
Departemen Kehutanan, 2006b.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.27/Menhut-II/2006 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan Tahun 2006-2025. Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Badan
Planologi Kehutanan. Jakarta.
Mappatoba Sila dan Nuraeni, 2009.
Buku Ajar Perlindungan dan Pengamanan Hutan, Laboratorium Perlindungan
dan Serangga Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin.
Sulthoni, Achmad, 2002. Cakrawala
Perlindungan Hutan, Disusun dalam Rangka Purna Tugas dan Ulang Tahun
ke-70. Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumardi dan Widyastuti, S.M., 2004. Dasar-Dasar
Perlindungan Hutan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar