Minggu, 18 Juni 2017

Diklat TKP sebagai Diklat Unggulan

DIKLAT TEKNIK PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA (TKP)
SEBAGAI DIKLAT UNGGULAN 
UNTUK MENDUKUNG PROSES PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
Oleh :
SUDIRMAN SULTAN, SP., MP. *)
Abstract
Handling The Genesis Case is one of the investigation process to convince the investigator in the determination of the suspect and the judge in determining that the defendant perpetrators of such offenses. This study aims to determine whether the training techniques of handling crime scenes can be used as a training featured in the Forestry Training Centre  Makassar.
Key Words: training, crime scenes, investigation.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang juga disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah bahwa proses penegakan hukum melalui penjatuhan pidana oleh hakim hanya dapat dilakukan apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Berdasarkan alat bukti tersebut, hakim sebagai pemutus perkara pidana dapat meyakini dan menyimpulkan  tentang kesalahan terdakwa melalui penjatuhan  hukuman (pidana).
Penyidik Polri maupun PPNS juga menggunakan dasar pembuktian tersebut dalam proses penyidikan khususnya pada penetapan tersangka. Salah satu proses penyidikan yang dapat meyakinkan  penyidik dalam penetapan tersangka adalah penanganan Tempat Kejadian Perkara (TKP). Penanganan TKP terdiri atas dua kegiatan utama yaitu Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TPTKP)  dan pengolahan tempat kejadian perkara (Olah TKP).
Penanganan TKP diharapkan dapat menemukan bukti yang membuat terang suatu tindak pidana serta menemukan pelakunya. Hasil penyidikan  pada  Olah TKP dapat menjadikan petunjuk bahwa dalam suatu TKP telah terjadi  peristiwa tindak pidana. Dari hasil tersebut dapat ditemukan barang bukti yang  diduga telah digunakan atau ditinggalkan pelaku tindak pidana, sehingga setelah  semua laporan penyelidik dilimpahkan kepada penyidik mengenai adanya  suatu persitiwa tindak pidana, baru dapat dilakukan tindakan penyidikan untuk barang bukti dan menemukan pelaku. Oleh karena itu, kemampuan dan penguasaan teknik penanganan TKP sangat diperlukan bagi petugas (Polhut dan PPNS) yang akan mendukung keberhasilan proses penegakan hukum.
Tujuan dan Ruang Lingkup Kajian
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui apakah diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara dapat dijadikan diklat unggulan di Balai Diklat Kehutanan (BDK) Makassar.  Sedangkan ruang lingkup kajian ini akan membahas mengenai konsep dasar Tempat Kejadian Perkara (TKP), aspek hukum penanganan TKP dalam proses penegakan hukum, peserta pelatihan, kurikulum pelatihan dan pengajar/narasumber.

PEMBAHASAN
Tempat Kejadian Perkara

Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah suatu tempat penemuan barang bukti atau tempat terjadinya tindak pidana atau kecurigaan suatu tindak pidana, merupakan suatu persaksian.  Pengertian tempat kejadian perkara di dalam petunjuk lapangan No. Pol: Skep/1205/IX/2000 tentang Penanganan Tempat Kejadian Perkara terbagi menjadi 2 (dua) yakni:
1. Tempat di mana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau akibat yang ditimbulkannya.
2. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dimana barang-barang bukti,tersangka atau korban dapat ditemukan.
Pasal 1, Ayat (19) PERKAP POLRI Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil menyebutkan : ” Tempat Kejadian Perkara adalah yang selanjutnya disingkat TKP adalah tempat di mana  suatu tindak pidana dilakukan/terjadi dan tempat-tempat lain, di mana tersangka dan/atau korban dan/atau barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana  tersebut dapat ditemukan.  Hal tersebut juga tercantum pada Pasal 1, Ayat (19) PERKAP  POLRI  Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Berdasarkan pengertian tersebut, secara umum setiap tempat di mana telah terjadi tindak pidana harus dianggap sebagai TKP.   TKP  merupakan bagian pokok dari pangkal pengungkapan perkara pidana pada saat terjadi peristiwa pidana karena di tempat kejadian perkara dapat ditemukan interaksi antara pelaku kejahatan (tersangka) alat bukti yang digunakan dan saksi/korban kejahatan.
TKP merupakan salah satu sumber keterangan yang penting dan bukti-bukti yang dapat menunjukkan/membuktikan adanya hubungan antara korban, pelaku, barang bukti dan TKP itu sendiri.  Dari hubungan tersebut diusahakan untuk dapat mengungkapkan pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1. Benarkah tindak pidana telah terjadi ? Tindak pidana apa ?
2. Bagaimana tindak pidana dilakukan ?
3. Siapa yang melakukan tindak pidana ?
4. Dengan apa itu dilakukan ?
5. Mengapa tindak pidana itu dilakukan ?
6. Di mana dilakukan ?
7. Bilamana dilakukan ?

Aspek Hukum Penanganan TKP dalam Proses Penegakan Hukum

Pasal 183 KUHAP mengatur tentang sistem pembuktian dalam perkara pidana di mana dalam pasal tersebut diuraikan bahwa “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pasal tersebut menentukan dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan seseorang bersalah dan menjatuhkan pidana, yaitu :
1. Adanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
2. Adanya keyakinan Hakim yang diperoleh berdasarkan alat-alat bukti yang sah tersebut.

Alat Bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah :
1. Keterangan saksi,
2. Keterangan ahli,
3. Surat,
4. Petunjuk, dan
5. Keterangan terdakwa.
Sedangkan dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, selain kelima alat bukti tersebut ditambahkan lagi tiga alat bukti yang sah yaitu :
1. Informasi elektronik : informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
2. Dokumen elektronik : data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, berupa :
a. tulisan, suara atau gambar
b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya, dan/atau
c. huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
3. Peta.
Dalam KUHAP, selain istilah alat bukti, juga dikenal istilah barang bukti.  Dari daftar alat-alat bukti yang sah yang dikemukakan di atas, tampak bahwa barang bukti tidak disebutkan sebagai termasuk ke dalam salah satu alat bukti yang sah.  Dengan kata lain, barang bukti bukanlah alat bukti.
Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan dinyatakan bahwa : ”Barang bukti tindak pidana kehutanan adalah segala benda yang patut diduga bersangkut paut dengan suatu tindak pidana kehutanan yang ditemukan di tempat  kejadian perkara maupun ditempat lainnya. Sedangkan dalam KUHAP            memang tidak disebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu :
1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti
Pasal-pasal KUHAP lainnya yang di dalamnya terdapat istilah “barang bukti”, yaitu:
1. Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 2: Salah satu wewenang Penyelidik adalah mencari barang bukti;
2. Pasal 8 ayat (3) huruf b: Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum;
3. Pasal 18 ayat (2): Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat;
4. Pasal 21 ayat (1): Salah satu alasan perlunya penahanan adalah dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran  bahwa tersangka atau terdakwa akan merusak atau menghilangkan barang bukti;
5. Pasal 181 ayat (1): Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadañya apakah Ia mengenal benda itu; yang dilanjutkan dengan Pasal 181 ayat (1):  Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi;
6. Pasal 194 ayat (1): Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi;
7. Pasal 203 ayat (2): Dalam Acara Pemeriksaan Singkat, penuntut umum menghadapkan terdakwa beserta saksi, ahli, juru bahasa dan barang bukti yang diperlukan;
Berdasarkan pasal-pasal KUHAP tersebut di atas, barang bukti memiliki kedudukan penting dalam suatu putusan pengadilan, di mana salah satu poin dalam putusan pemidanaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.  Dalam pasal ini tidak hanya disebut tentang “alat bukti” saja, melainkan “alat pembuktian”.  Istilah “alat pembuktian”, yaitu Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP tersebut ditentukan bahwa, dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.
Dari rumusan Pasal 82 ayat (3) huruf b KUHAP ini jelas bahwa benda yang disita bisa saja termasuk alat pembuktian dan bukan alat pembuktian.  Jadi, penggunaan istilah alat pembuktian mencakup juga benda yang disita.  Sekalipun dalam pasal ini yang digunakan adalah istilah “benda yang disita”, bukan istilah “barang bukti”, tetapi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan “benda yang disita” itu adalah apa yang dalam hukum acara pidana dinamakan “barang bukti”.
Barang-bukti yang disita oleh penyidik berasal dari TKP, di mana ketepatan teknik penanganan TKP akan menunjukkan hubungan yang jelas dari barang bukti yang ditemukan dengan pelaku dan obyek kerusakan lingkungan-kehutanan. Kejelasan hubungan ini akan menguatkan kedudukan alat bukti yang sah, sehingga apabila hakim mempelajari alat bukti yang diajukan akan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani.  Hal ini   dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), sehingga Hakim dapat menjatuhkan vonis bahwa terdakwa benar telah bersalah melakukan perusakan lingkungan dan kehutanan.

Peserta Pelatihan
Penanganan TKP terdiri atas dua kegiatan utama yaitu Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TPTKP)  dan pengolahan tempat kejadian perkara (Olah TKP).  TPTKP dapat dilakukan oleh Polhut yang belum berkualifikasi sebagai PPNS. Berdasarkan laporan kejadian yang disampaikan oleh Polhut kepada PPNS, maka PPNS dapat melakukan pengolahan TKP apabila dianggap masih diperlukan dalam mendukung ditemukannya kebenaran materiil.  Jadi Diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara ini dapat diikuti oleh Polisi Kehutanan, baik yang berkualifikasi sebagai PPNS maupun yang belum PPNS.
Penanganan TKP terdiri atas pengamanan TKP, penanganan tersangka, penanganan saksi dan penanganan barang bukti.  Berdasarkan Peaturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi  No. 11 Tahun 2011 tentang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan, butir kegiatan yang ada hubungannya dengan diklat teknik penanganan TKP adalah :
1. Penangkapan tersangka (Polhut terampil dan Polhut ahli pada semua jenjang jabatan)
2. Pengamanan Barang Bukti (Polhut terampil semua jenjang dan Polhut Ahli Pertama)
3. Penanganan / Olah TKP (Polhut Pelaksana, Pelaksana Lanjutan, Penyelia dan Polhut Ahli semua Jenjang)
Berdasarkan Permenpan & RB No. 11 Tahun 2011 tersebut, diklat teknik penanganan perkara dapat diikuti oleh :
1. Polisi Kehutanan Tingkat Terampil yaitu  Polhut Pelaksana, Polhut Pelaksana Lanjutan dan Polhut Penyelia.
2. Polisi Kehutanan Tingkat Ahli yaitu Polhut Ahli Pertama, Polhut Ahli Muda dan Polhut Ahli Madya.

Kurikulum Pelatihan

Kurikulum Diklat ini merupakan hasil kajian permasalahan penegakan hukum kehutanan. Diklat Penanganan TKP akan meningkatkan keterampilan Polhut dalam melakukan penanganan TKP, di mana ketepatan teknik penanganan TKP akan menunjukkan hubungan yang jelas dari barang bukti yang ditemukan dengan pelaku dan obyek kerusakan lingkungan-kehutanan. Kejelasan hubungan ini akan menguatkan kedudukan alat bukti yang sah, sehingga apabila hakim mempelajari alat bukti yang diajukan akan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani.  Hal ini   dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), sehingga Hakim dapat menjatuhkan vonis bahwa terdakwa benar telah bersalah melakukan perusakan lingkungan dan kehutanan.
Diklat ini akan mendukung peningkatan kinerja penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan, di mana Kementerian LHK merupakan satu-satunya kementerian yang memiliki Direktorat Jenderal Penegakan Hukum.
Pengajar/Narasumber
Di Balai Diklat Kehutanan Makassar terdapat 2 (dua) orang Widyaiswara/ Narasumber yang memiliki pengalaman sebagai Polhut dan PPNS.  Kedua Widyaiswara ini juga sudah terbiasa memfasilitasi materi/mata diklat yang terkait dengan pelaksanaan tugas Polhut dan PPNS. Berikut ini pengalaman dari kedua  Widyaiswara tersebut :
1. Sudirman Sultan, SP., MP.
Pernah bertugas sebagai Jagawana/Polisi Kehutanan pada Taman Nasional Taka Bonerate Kabupaten Selayar Sulawesi- Selatan.  Selama bertugas di Taka Bonerate, pernah melaksanakan tugas sebagai Komandan Pos, Kepala Satuan Tugas Polhut, Koordinator Perlindungan dan Pengamanan Hutan tingkat Balai TN Taka Bonerate dan Penyidik PNS (PPNS) Kehutanan.
Sejak tahun 2005, menjalankan tugas-tugas kewidyaiswaraan khususnya diklat-diklat teknis kepolisian kehutanan seperti :
Diklat Pemberkasan Perkara Bagi Polhut, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Pengamanan Hutan Partisipatif, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Penanganan Tempat Kejadian Perkara, sebanyak 1 angkatan.
On Job Training dan Penyegaran Polisi Kehutanan di Wilayah Layanan Balai Diklat Kehutanan Makassar seperti Kabupaten Sinjai, Kabupaten Sorong Selatan.
Selain diklat teknis, juga memfasilitasi diklat-diklat jabatan fungsional Polisi Kehutanan, seperti :
Diklat Pembentukan Polisi Kehutanan, sebanyak 35 angkatan di BDK Makassar dan 1 angkatan di BDK Pekanbaru.
Diklat Pembentukan SPORC Bidang Kehutanan, sebanyak 2 angkatan.
Diklat Penjenjangan Fungsional Polhut Pelaksana Lanjutan, sebanyak 5 angkatan.
Diklat Alih Tingkat Polhut Terampil ke Polhut Ahli, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Penjenjangan Fungsional Polhut Ahli Madya, sebanyak 2 angkatan.
2. Pemilu Arman Labahi, SP., MP.
Pernah bertugas sebagai Jagawana/Polisi Kehutanan pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara.  Selama bertugas di BKSDA Sulawesi Tenggara, juga menjalankan tugas Penyidik PNS (PPNS) Kehutanan.  Sejak tahun 2005, menjalankan tugas-tugas kewidyaiswaraan khususnya diklat-diklat teknis kepolisian kehutanan seperti :
Diklat Pemberkasan Perkara Bagi Polhut, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Pengamanan Hutan Partisipatif, sebanyak 3 angkatan.
Diklat Penanganan Tempat Kejadian Perkara, sebanyak 1 angkatan.
On Job Training dan Penyegaran Polisi Kehutanan di Wilayah Layanan Balai Diklat Kehutanan Makassar seperti Kabupaten Mamuju, Kabupaten Bulukumba.
Selain diklat teknis, juga memfasilitasi diklat-diklat jabatan fungsional Polisi Kehutanan, seperti :
Diklat Pembentukan Polisi Kehutanan, sebanyak 35 angkatan di BDK Makassar dan 1 angkatan di BDK Pekanbaru.
Diklat Pembentukan SPORC Bidang Kehutanan, sebanyak 2 angkatan.
Diklat Penjenjangan Fungsional Polhut Pelaksana Lanjutan, sebanyak 5 angkatan.
Diklat Alih Tingkat Polhut Terampil ke Polhut Ahli, sebanyak 3 angkatan.

Widyaiswara dapat juga memperkaya desain proses pembelajaran dengan berkolaborasi dengan PPNS dari Satuan Polhut Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Anoa Sulawesi Selatan.  Pada tahun ini, PPNS SPORC Brigade anoa akan berada dalam satu lembaga tersendiri yaitu Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2H-LHK).  BP2H-LHK ini hanya terdapat di 5 (lima) Propinsi Besar di seluruh Indonesia.  Salah Satunya berkedudukan di Makassar.

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan kajian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Penanganan Tempat Kejadian Perkara sangat berperan penting dalam proses penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan.
2. Diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara dapat diikuti oleh Polhut terampil maupun Polhut Ahli dari UPT-LHK, Badan Lingkungan Hidup dan Dinas Kehutanan di seluruh Indonesia, baik yang berkualifikasi PPNS maupun yang belum berkualifikasi PPNS.
3. Pengajar/Narasumber tersedia di Balai Diklat Kehutanan Makassar dan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2H-LHK) Sulawesi di Makassar.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka direkomendasikan sebagai berikut :
1. Diklat Penanganan Tempat Kejadian Perkara dijadikan sebagai diklat unggulan di BDK Makassar yang akan mendukung proses penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan.
2. Sebagai diklat ungulan yang akan mendukung proses penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan, maka Diklat Penanganan Tempat Kejadian Perkara ini diusulkan untuk diprogramkan setiap tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1987.  Himpunan Juklak dan Juknis tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana.  Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Sultan, Sudirman., 2015.    Bahan Ajar ”Tempat Kejadian Perkara” pada Diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara Tahun 2015.  Balai Diklat Kehutanan Makassar, Makassar.
Sultan, S. dan Arman Labahi, 2015.    Modul ”Pengolahan Tempat Kejadian Perkara” pada Diklat Teknik Penanganan Tempat Kejadian Perkara Tahun 2015.  Balai Diklat Kehutanan Makassar, Makassar.
Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar