Minggu, 18 Juni 2017

PERKUAT POTENSI KAYU DARI HUTAN RAKYAT (Studi Kasus Hutan Rakyat Di Kabupaten Sinjai)


A.  PENDAHULUAN
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin meningkatnya permintaan terhadap komoditas pertanian, kayu perkakas, kayu bakar, lapangan pekerjaan, pemukiman, bahan baku industri, dan jasa lingkungan hidup. Pengelolaan SDH bagaimanapun tidak hanya ditujukan bagi terpenuhinya kebutuhan produk kehutanan yang berupa kayu. Masih sangat banyak manfaat lain yang tetap harus dijaga keberlanjutannya. Berbagai upaya yang ditujukan bagi tetap berlangsungnya keberadaan manfaat dan fungsi hutan terus diusahakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh banyak pakar, saudara-saudara kita yang hidup di daerah pedesaan telah cukup lama memiliki tradisi mengelola lahan milik mereka sebagai hutan . Hal ini sudah menjadi pola manajemen lahan di pedesaan, dan oleh aparat birokrasi kemudian diberi label dengan hutan rakyat (HR).
Pengelolaan hutan rakyat sangat layak untuk dioptimalkan jika mengingat adanya tantangan berat bagi rehabilitasi hutan kita yang semakin hancur dewasa ini. Dengan mengelola hutan rakyat , tekanan yang hebat terhadap hutan negara lambat laun akan dapat dihilangkan atau setidaknya dapat ditekan. Berdasarkan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pengembangan hutan rakyat diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar kawasan hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara.
Mengingat banyaknya manfaat yang bisa kita peroleh dari pengembangan dan pembangunan hutan rakyat, maka sudah saatnya pengelolaan hutan rakyat mendapatkan perhatian yang lebih besar agar diperoleh hasil produksi yang optimal.
Di Kabupaten Sinjai telah dikembangkan hutan rakyat jenis sengon ( Paraserianthes falcataria ) yang cukup berkembang. Jenis sengon ini disukai oleh masyarakat karena cepat tumbuh, perawatannya mudah, dan dapat digunakan untuk beragam pemanfaatan seperti kayu perkakas, kayu bakar, dan daunnya dapat digunakan untuk makanan ternak disamping untuk pupuk. Dan yang paling penting adalah jenis sengon saat ini lagi ramai diminati oleh para pengusaha kayu di Kabupaten Sinjai.
B. Awal Mula Hutan Rakyat di Sinjai
Wilayah Kabupaten Sinjai sebagian besar mempunyai kelerengan yang curam, serta topografi yang bergelombang sampai berbukit. Dan dari luas kawasan hutan terkategori sebagai daerah yang berada dibawah limit luas minimal kawasan hutan yang harus dimilik (hanya 26 % dari luas Kabuopaten Sinjai).
Dari luas kawasan hutan yang tidak luas tersebut, telah terdapat beberapa kawasan hutan yang sudah terkategori lahan kritis.  Hal ini terjadi karena terjadi pengelolaan lahan hutan oleh masyarakat  sehingga tidak sesuai dengan tujuan peruntukannya.
Beberapa kelompok masyarakat yang secara sadar melakukan penanaman pohon di areal tanah miliknya, saat ini telah merasakan manfaat yang besar dengan adanya tanaman kayu-kayuan di lahan mereka, di antaranya keuntungan ekonomis berupa penjualan hasil hutan baik kayu, maupun hasil hutan nonkayu lainnya. Keuntungan lain yang diterima masyarakat adalah keuntungan ekologis berupa peningkatan produktivitas lahan yang meliputi peningkatan kesuburan tanah, perlindungan tata air dan sumber mata air agar selalu lestari, dan peningkatan ketrampilan petani dalam melestarikan sumber daya alam.
Mencermati hal tersebut diatas dan mendukung program pemerintah dalam ”GERAKAN INDONESIA MENANAM”, maka pemerintah Kabupaten Sinjai mencanangkan ”Pembuatan Hutan Rakyat” Seluas 6.000 ha. Masyarakat diberikan pemahaman bahwa dengan adanya tanaman berkayu di lahan miliknya, maka kualitas lahan dapat ditingkatkan di samping mereka memperoleh beberapa keuntungan, baik keuntungan ekonomis maupun keuntungan ekologis.
Guna mendukung program pemerintah daerah Kabupaten Sinjai dalam menggalakkan pembuatan Hutan Rakyat, maka dibeberapa daerah telah ditugaskan Polisi Kehutanan yang sekaligus berfungsi sebagai Mandor Hutan yang bertugas melakukan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta melakukan pembinaan kemasyarakatan secara terus menerus agar masyarakat terus melakukan kegiatan penghijauan secara swadaya di lahan miliknya, sehingga luasan lahan yang ditanami dan dihijaukan dari waktu ke waktu semakin luas.
Saat ini masyarakat Kabupaten Sinjai sudah mulai membangun hutan rakyat secara swadaya pada lahan milik. Pembangunan Hutan Rakyat akan terus dilakukan oleh masyarakat sampai keinginannya tercapai yakni memperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :
Penghasilan petani bertambah dari hasil penjualan kayu rencek dan kayu perkakas.
Tersedianya sumber air sepanjang tahun meskipun pada musim kemarau.
Tersedianya tabungan jangka panjang berupa kayu yang dapat digunakan bila ada kebutuhan yang mendesak.
Tersedianya hijauan makanan ternak untuk mencukupi kebutuhan ternak peliharaannya.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

B. Bentuk Pengelolaan
Hutan rakyat di Kabupaten Sinjai pada umumnya berupa sekumpulan tanaman tahunan/berkayu yang ditanam baik di tegalan maupun di pekarangan. Berdasarkan bentuk dan pola tanamnya dapat terdapat dua pola HR, yaitu hutan rakyat tumpang sari ( Agroforestry ) dan hutan rakyat yang murni/kompak.
Hutan Rakyat biasanya tersusun atas beberapa jenis vegetasi di antaranya jenis Jati (Tectona grandis), Akasia (Acacia auriculiformis), Mahoni (Swietenia microphylla), Sengon (Paraserianthes falcataria), Kelapa (Cocos nucifera), serta beberapa jenis pohon lainnya seperti cengkeh, kemiri, mangga, rambutan, durian, belimbing, jeruk, pepaya, dan pisang.
Menurut letak lahannya, HR terbagi menjadi dua, yaitu: hutan rakyat yang dikelola pada lahan milik perorangan (individual), dan hutan rakyat yang dikelola pada lahan kelompok (komunal). Hutan rakyat yang ada di kabupaten Sinjai umumnya adalah hutan rakyat yang dikelola pada lahan milik perorangan (individual) yang dikelola  berdasarkan keinginan pemiliknya, tidak terikat secara langsung oleh aturan kelompok.
Pengelolaan hutan rakyat sebagian besar menggunakan bentuk pertanaman tumpangsari, karena kepemilikan lahan petani relatif sempit dengan berbagai kepentingan dalam penggunaan lahan. Bentuk tumpangsari merupakan alternatif yang mampu menampung berbagai kepentingan tersebut. Pertimbangan tersedianya tenaga kerja dari anggota keluarga juga diperhitungkan dalam penentuan pola tanam yang demikian.
Dengan pola tumpangsari, diharapkan produktivitas lahan meningkat dan petani dapat memperoleh pendapatan dari hasil panenan secara berurutan dan berkesinambungan sepanjang tahun dari jenis-jenis tanaman yang diusahakan. Hal ini dapat mengurangi resiko terjadinya paceklik.
Dalam bentuk tumpangsari tanaman berkayu biasanya ditanam di batas lahan dan pada tepi terasering. Pada batas kepemilikan lahan, tanaman berkayu memiliki fungsi sosial yaitu memberikan batas yang jelas terhadap masing-masing lahan milik petani, sedangkan pada tepi terasering tanaman berkayu memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai penguat dan stabilisator teras.
Kegiatan pengelolaan tanaman berkayu dan tanaman semusim dilakukan secara bersamaan atau berurutan sesuai dengan tata waktu yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut dilakukan oleh petani berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya dalam pengolahan lahan.

C. Pemanenan Kayu Rakyat
Kegiatan pemanenan/penebangan kayu pada hutan rakyat dilakukan sesuai dengan kebutuhan petani pemilik hutan rakyat. Kayu yang dipanen/ditebang adalah kayu yang sudah cukup umur dan sudah laku di pasaran, sedangkan bentuk dan ukuran kayu dijadikan faktor penentu harga, sehingga makin baik kualita kayu maka harga kayu makin mahal. Kayu dijual oleh petani kepada pengumpul dalam keadaan kayu berdiri, sedangkan sistem penebangannya didasarkan atas peraturan dan tata tertib kelompok tani yakni sistem tebang pilih. Sistem tebang pilih tersebut didasarkan pada umur tanaman minimal yang boleh dipanen, sehingga diharapkan kayu yang ditebang adalah kayu yang sudah cukup umur dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Pada umumnya kegiatan penebangan dilakukan oleh pembeli yang merupakan pedagang pengumpul. Penebangan dilakukan secara manual dengan menggunakan gergaji tangan.
Berikut proses pemberian ijin/pemberitahuan kegiatan tebangan bagi petani yang hendak menebang pohon miliknya :



Skema 1. Proses pembuatan ijin tebang
Selesai kegiatan penebangan, kayu kemudian dibawa ke tempat penumpukan kayu (TPn). Tempat itu dapat terletak di pinggir jalan atau di area khusus seperti di halaman pekarangan milik pedagang kayu yang sudah mendapatkan Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik (IPKTM). Setelah melakukan penebangan petani diwajibkan untuk menanami lahan mereka dengan permudaan baru dengan bibit tanaman yang telah disiapkan oleh Pemilik IPKTM. Pengadaan bibit ini merupakan kewajiban yang dipersyaratkan bagi pemilik IPKTM di Kabupaten Sinjai dan diserahkan kepada masyarakat secara gratis untuk ditanam dilahan miliknya.

D. Pemasaran Kayu Rakyat
Pemasaran hasil hutan rakyat berupa hasil hutan kayu atau nonkayu pada dasarnya tidak mengalami kesulitan yang berarti. Untuk pemasaran hasil hutan berupa kayu, kesulitan yang sering  dihadapi oleh petani adalah posisi tawar mereka yang rendah dalam penentuan harga jual. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani tentang potensi volume kayu dan tentang kualitas kayu. Di samping itu, penjualan kayu oleh petani hanya didasarkan pada kebutuhan yang mendesak menyebabkan petani selalu berada pada posisi tawar yang rendah, karena petani butuh segera mendapatkan uang, sehingga harga jual kayu yang menentukan biasanya tengkulak.
Pemasaran hasil hutan kayu baik dalam bentuk kayu gelondong maupun kayu gergajian setengah jadi tidak mengalami kesulitan, karena biasanya petani sebelum melakukan penebangan sudah harus menentukan pemilik IPKTM yang akan membeli kayu miliknya.  Jika tidak bermitra dengan pemilik IPKTM lokal yang ada di Kabupaten Sinjai, maka dalam pengangkutannya biasanya dipermasalahkan oleh Petugas Penerbit Dokumen Pengangkautan (SKAU/SKSKB) dan Polisi Kehutanan.  Hal ini disebabkan karena tidak sesuai dengan prosedur penatausahaan kayu rakyat yang telah diberlakukan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Sinjai dan biasanya tidak mengeluarkan Retribusi Hasil Hutan Kayu sehingga dianggap illegal oleh petugas kehutanan.
Bila terjadi hal seperti ini, biasanya petugas Polisi Kehutanan menghentikan pengangkutan sebelum pemilik kayu melengkapi dokumen pengangkutannya, dimana dokumen pengangkutan dikeluarkan oleh Penerbit setelah pemilik kayu menyelesaikan Retribusi kayu sesuai dengan jenis kayu dan volume kayunya.
D.  Kelembagaan
Aspek kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan baik formal maupun nonformal yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat. Kontribusi kelembagaan formal adalah memberikan bimbingan dan penyuluhan teknis tentang pengelolaan hutan rakyat, serta membantu kelompok tani dalam menyusun Perencanaan Pengelolaan Hutan Rakyat (PPHR). Di samping itu, kelembagaan formal juga memberi bantuan berupa insentif dalam bentuk proyek yang membantu petani bila ingin melakukan penanaman tanaman berkayu di lahan miliknya. Lembaga formal juga dapat berperan sebagai mediator yang menghubungkan kelompok tani dengan instansi/lembaga lain yang dapat bekerja sama dalam pengembangan hutan rakyat.
Target dan tujuan yang ingin dicapai oleh kelembagaan formal dalam pengembangan hutan rakyat adalah mengembangkan hutan terutama di luar kawasan hutan negara. Arahan pengembangan hutan rakyat tersebut diharapkan mampu menciptakan kawasan hutan seluas 30% dari total luas daratan di Kabupaten Sinjai. Namun dalam implementasinya, kelembangaan formal ini belum berfungsi sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan karena Petugas Penyuluh Kehutanan yang ditugaskan di Kecamatan umumnya berdomisili di Ibukota Kabupaten, sedangkan Polisi Kehutanan yang bertugas dilapangan belum kreatif dalam melakukan tugas-tugas pembinaan terhadap petani dalam pembangunan Hutan Rakyat ini.
Sehingga kelembagaan  nonformal yang sudah ada seperti Kelompok Tani Hutan (KTH) belum menjadi alternatif solusi yang dapat membantu petani apabila mereka mengalami permasalahan di dalam mengelola hutan rakyat miliknya. Hal ini terjadi karena kurangnya pembinaan KTH dari petugas Penyuluh Kehutanan dan Polisi Kehutanan sehingga KTH ini belum dapat berperan secara langsung dalam membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat milik mereka, diantaranya kebutuhan akan bibit, tenaga kerja, kebutuhan akan modal, dan kebutuhan akan peralatan pertanian.
E. Kesimpulan
Masyarakat melakukan pembangunan hutan rakyat di lahan milik guna mendukung program Pemerintah Daerah Kabupaten Sinjai dalam  ”Pembangunan Hutan Rakyat Seluas 6.000 ha” guna menciptakan kawasan hutan seluas 30% dari total luas daratan di Kabupaten Sinjai.
Banyaknya manfaat yang diperoleh oleh masyarakat dan mudahnya penatausahaan kayu rakyat saat ini mendorong mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan hutan rakyat dan meningkatkan kemampuannya dalam pengelolaan hutan rakyat, sehingga manfaat yang diterima dapat maksimal untuk jangka waktu yang tak terbatas. Atas dasar itu, masyarakat selalu berusaha mengembangkan metode pengelolaan hutan yang telah dilakukan dengan mencari informasi dan pengetahuan yang baru dalam pengelolaan hutan guna menjawab permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.
Permasalahan yang ditemui dalam tahapan pembangunan hutan rakyat di Kabupaten Sinjai adalah :
belum adanya kelembagaan masyarakat yang optimal dalam pelaksanaan pembuatan perencanaan pengaturan hasil Hutan Rakyat yang tetap memperhatikan fungsi-fungsi sosial dan konservasi, seperti prediksi nilai tebangan akhir, tebangan penjarangan, dan output kegiatan-kegiatan lain dari hutan rakyat.
Sistem penatausahaan kayu rakyat yang lebih rumit dibandingkan prosedur penatausahaan kayu rakyat sebagaimana diatur dalam Pemrmenhut No. 51 Tahun 2006 tentang Penata Usahaan Hasil Hutan  yang berasal dari Hutan Hak.
F. Saran
Untuk memperkuat potensi kayu dari hutan rakyat di Kabupaten Sinjai dan menfungsikan pengelolaan hutan rakyat dalam mengurangi tekanan yang hebat terhadap hutan negara, perlu dukungan dari aparat dilapangan baik dari aparat Desa maupun  aparat kehutanan yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan kebenaran kayu rakyat tersebut berasal dari milik yang sah dan tidak mempersulit prosedur pengangkutan kayu rakyat dalam bentuk biaya dokumen yang mahal serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat sehingga lebih termotivasi dalam pengembangan Hutan Rakyat ini.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004. Permenhut Nomor P.03/MENHUT-V/2004 tanggal 22 Juli 2004 tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Hutan Rakyat Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

Purwanto, S. Cahyono, Indrawati dan Wardoyo, 2004. Model-Model Pengelolaan Hutan Rakyat. Prosiding Ekspose BP2TPDAS-IBB Surakarta  Kebumen, 3 Agustus 2004.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar