Minggu, 18 Juni 2017

ASPEK SPIRITUAL ”RESORT BASED MANAGEMENT”

ASPEK SPIRITUAL ”RESORT BASED MANAGEMENT”
Oleh : Sudirman Sultan, SP., MP.


“Benarkah RBM bisa diterapkan ?”

Resort Based Management (RBM) merupakan salah satu kebijakan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang ditargetkan dapat diimplementasikan disemua UPT Taman Nasional pada Tahun 2014.  Kebijakan ini selalu kami sampaikan setiap membawakan materi kebijakan Kementerian Kehutanan.  Saat menyampaikan materi pembelajaran mata diklat kebijakan bidang PHKA pada salah satu diklat, salah seorang peserta menyampaikan tanggapannya bahwa RBM hanya “MIMPI” bagi kami petugas lapangan. Hal tersebut tentu saja perlu mendapat perhatian khusus dan tantangan untuk membuktikan bahwa RBM tidak hanya sebatas “MIMPI”, tapi dapat diimplementasikan seperti di Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Karimun Jawa.
 Pada saat sosialisasi RBM di Makassar Tahun 2010, Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo menutup presentasinya dengan mengatakan bahwa “RBM ini hanya bisa berjalan apabila ada dukungan dari Kepala Balai Taman Nasional”.  Pernyataan ini tentu saja menjadi pertanyaan bagi siapapun yang mendengarnya untuk mengetahui “Aspek utama berjalannya RBM di Taman Nasional Alas Purwo dan itu bukan MIMPI”.
 
Fenomena Resort
Resort merupakan jabatan non struktural yang dibentuk dengan keputusan Kepala Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional (Pasal 31 P.03/Menhut-II/2007).  Didalam sebuah taman nasional terdapat beberbagai struktur yang diduduki oleh berbagai tingkatan jabatan sampai dengan staf dilapangan. Resort merupakan garda terdepan dalam sebuah pengelolaan taman nasional. Atasan langsung dari resort adalah Kepala Seksi. Orang-orang yang berada di resort harus berhubungan langsung dengan masyarakat, baik itu masyarakat yang tinggal didalam atau disekitar taman nasional, maupun masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan illegal didalam sebuah kawasan taman nasional, seperti berburu satwa, illegal loging, perambahan dan pencurian tumbuh-tumbuhan langka yang dilindungi.
Bila mencermati hal tersebut diatas, begitu rumit dan kompleksnya sebuah manajemen di taman nasional. Bagaimana sebuah kebijakan seolah-olah saling menunggu. Kebijakan dalam sebuah taman nasional tergantung oleh Kepala Balai dan seorang Menteri Kehutanan. Seorang Kepala Seksi dan Kepala Resort serta staf-nya tidak bisa berbuat apa-apa jika sang pimpinan tidak memberikan instruksi. Dalam hal pengamanan kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab petugas resort, resort tidak bisa berbuat banyak.  Karena kewenangan dan pengelolaan anggaran berada di tingkat Balai.  Pengelolaan ini  tidak akan efektif  mengingat luasnya kawasan hutan yang dikelola dan banyaknya permasalahan gangguan terhadap kawasan hutan.
Olehnya itu dibutuhkan sebuah solusi yang cepat dalam pengelolaan taman nasional. Tingginya konflik di taman nasional dan masih sering terjadinya kegiatan-kegiatan illegal disebuah taman nasional membuat beberapa kalangan tidak mempercayai sistem taman nasional dalam upaya penyelamatan sebuah kawasan hutan. Manajemen kolaborasi dan pelibatan masyarakat didalam dan disekitar taman nasional harus diterapkan. Bagaimana masyarakat bisa hidup selaras dan serasi dengan kawasan hutan. Menikmati tinggal dikawasan hutan dan menjaga tempat tinggalnya dari kerusakan. Resort harus dilibatkan secara penuh dalam sebuah perencanaan, pelaksanaan dan monitoring sebuah kegiatan/program di taman nasional. Beri kepercayaan dan ruang gerak yang bebas untuk resort.
“Seksi dan Resort adalah ujung tombak didalam sebuah taman nasional. Biarkan mereka membuat program dan mengelola program tersebut. Baik program dari anggaran pemerintah maupun sumber dana yang lainnya. Karena mereka yang tahu situasi dan kondisi dilapangan. Kenapa disebuah taman nasional dibentuk seksi dan resort? Karena kepala balai tidak akan sanggup mengurusi semuanya. Seksi dan resort merupakan perpanjangan tangan kepala balai.  Kepala balai cukup mengevaluasi saja pekerjaan-pekerjaan mereka” ungkap Waldemar Hasiholan (Widyaiswara Pusdiklat Kehutanan) yang pernah menjadi Kepala Balai Taman Nasional dibeberapa taman nasional ketika kami melakukan praktek lapangan bersama di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.



Aspek Spiritual RBM
Untuk menerapkan RBM, maka RBM hendaknya diinterpretasikan tidak semata-mata sebagai tuntutan “Renstra Kementerian Kehutanan” tetapi merupakan hasil dari suatu proses “IQRA =  Membaca”.   Membaca dalam arti luas adalah membaca keseluruhan gejala yang terjadi disekitar kita yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam yang merupakan amanah bagi rimbawan.  Mengapa kita diminta membaca, tentu agar kita mau berfikir dan menggunakan akal dan nurani untuk memahami dan mengetahui isi serta manfaat dari alam ciptaan Tuhan ini. Interpretasi lanjutannya adalah, bahwa agar manusia tidak buta dan tidak terjebak pada suatu “kondisi” yang menyebabkan alam semakin rusak ditengah semakin bertambahnya rimbawan di bumi tercinta ini.
Hal inilah yang diterapkan di Taman Nasional Alas Purwo yaitu membaca fenomena yang terjadi di tingkat resort.  Proses membaca ini membutuhkan “Kecerdasan Emosional dan Spiritual” yang tinggi sehingga diperlukan kemauan dan tingkat keikhlasan yang tinggi dalam bekerja.  Ikhlas bukan berarti tanpa pamrih.  Tingkat kecerdasan dengan pemahaman “Ikhlas bukan berarti tanpa pamrih” inilah yang mampu membaca fenomena resort bahwa kegiatan resort telah menyimpang dari aturan yang sesungguhnya.
Untuk memperbaiki hal tersebut, dibutuhkan komitmen moral.  Komitmen moral hanya bisa dilaksanakan apabila yang akan mengajak komitmen memiliki kecerdasan spiritual dalam berkomitmen yaitu memiliki moral yang dapat menjadi contoh dan teladan.  Kecerdasan spiritual yang sudah built in dalam diri menjadi penyebab untuk berpikir melingkar, sehingga diperoleh solusi untuk menghitung “Penghasilan Minimal” dan “Tugas Minimal”
“Penghasilan Minimal” adalah penghasilan diluar gaji yang menjadi kebutuhan minimal petugas Resort yang menyebabkannya bekerja menyimpang dari aturan.  Penghasilan minimal ini dihitung dan didukung oleh pernyataan komitmen moral dari petugas resort dan pihak Balai.  “Penghasilan Minimal” ini berasal dari pelaksanaan “Tugas Minimal” Resort yang harus dikerjakan diluar dari tugas rutin yang menjadi tugas pokoknya.
Dengan adanya “Tugas Minimal” yang akan menghasilkan “Penghasilan Minimal” ini  menjadi motivasi tersendiri bagi petugas resort untuk bekerja di lapangan yaitu di tingkat resort.  Apabila personil resort bekerja dilapangan melaksanakan tupoksi dan tugas minimal yang menjadi kewajibannya, maka kita mulai mengetahui isi kawasan, memahami manfaatnya, dan akhirnya memanfaatkannya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Maka dalam konteks pemahaman seperti ini, RBM menjadi tugas mulai kita bersama. Dengan ilmu pengetahuan, data yang dihimpun, lalu dikelola dalam SIM RBM, yang diolah menjadi informasi, dan pengetahunan.    Dengan semakin lengkapnya data dan informasi, maka secara bertahap kita berhijrah dari era kegelapan menuju zaman terang bendarang. Masa depan seperti inilah yang kita harapkan terjadi, sehingga kawasan konservasi dapat dipertahankan untuk dikembalikan kepada generasi mendatang 100-500 tahun ke depan (dalam keadaan yang tidak terlalu rusak), karena kawasan konservasi hanya titipan anak cucuk kita yang saat ini belum lahir. RBM harusnya dilihat dalam konteks lintas generasi dan mandat Tuhan kepada manusia yang seperti itu.

RBM dan Tuntutan Renstra
RBM perlu dipahami tidak hanya sebagai “Tuntutan Renstra” tetapi merupakan amanah Tuhan Yang Maha Menciptakan untuk membangun kelembagaan pengelolaan yang memiliki kemampuan untuk mampu menghadapi tantangan yang berkembang dan potensi kawasan yang beragam dan dapat dikembangkan secara dinamis, sekaligus dapat melakukan adaptasi ke dalam dan keluar.  Hal ini tentu saja perlu tahapan proses yang diawali dengan tahapan “IQRA”, sehingga RBM  berjalan sesuai dengan tahapan proses yang terencana dan mantap.  Tidak spontanitas karena pemenuhan “Renstra”, dimana dari aspek data sudah RBM namun dari aspek manajemen sesungguhnya belum menerapkan RBM.
Berikut ini  ciri-ciri kelembagaan UPT yang telah menerapkan RBM adalah:
Antisipatif : dapat melakukan antisipasi munculnya berbagai persoalan.
Responsif : mampu melakukan tanggapan dengan cepat terhadap berbagai persoalan dan potensi yang dapat dikembangkan.
Inovatif : berani melakukan berbagai inovasi atau terobosan  menghadapi persoalan internal dan eksternal.
Adaptif : mampu melakukan penyesuaikan strategi, taktik, dan mobilisasi sumberdaya dalam merespon beragamnya perubahan situasi dan kondisi yang akan berdampak pada kelestarian kawasan dan fungsinya.
Transparan : berani melakukan perubahan paradigma menjadi lebih terbuka dan melibatkan berbagai pihak kunci dalam “siklus manajemen”.
Akuntabel : memenuhi kaidah-kaidah tertib administrasi keuangan, tertib pelaporan, dan kualitas pekerjaan.
Menjadi Leading Agency  dalam penyusunan dan menerapkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan.
Berhasilnya dibangun leadership di berbagai tingkatan khususnya di lingkungan internal dan jaringan kerja ke lingkungan eksternal.
Terkelolanya berbagai persoalan dan potensi dengan lebih manusiawi dan memberikan kemanfaatan nyata bagi masyarakat, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip kelestariannya.
Memulai kesadaran (spiritual dan intelektual) tentang pentingnya  budaya “membaca” yang  didisain untuk mempercepat proses pemahaman dan penguasaan data, informasi, dan pengetahuan tentang kawasan dan isinya, termasuk kemanfaatannya bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan.
RBM diharapkan berjalan sesuai dengan tahapan proses yang direncanakan sehingga  Resort sebagai unit manajemen terkecil menjadi kenyataan yaitu fungsi-fungsi manajemen ada ditingkat resort.  Dengan berfungsinya Resort sebagai Unit Manajemen Terkecil, diharapkan permasalahan-permasalahan kawasan hutan tidak semakin kompleks dan mengalami penurunan dari bentuk manajemen sebelumnya. (SS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar