Minggu, 18 Juni 2017

Implementasi Hukum Pembuktian dalam Pencapaian Indikator Keberhasilan Praktek Mata Diklat Proses Pemberkasan


Abstract
The process of filing was results of the end of a process investigation the criminal act. Investigation was carried out as effort to find evidence of any elements which presupposed article to the suspect, so as clear that the suspects was the perpetrators of this criminal act.

Keywords : Investigation, Evidence and Filing

Proses pemberkasan perkara merupakan proses pengumpulan administrasi penyidikan yang dilakukan oleh penyidik selama proses penyidikan tindak pidana sesuai dengan syarat susunan pemberkasan, syarat penyampulan, pengikatan dan pemberian Lak serta penomoran yang ditentukan. Jadi pemberkasan perkara merupakan salah satu bagian dalam proses penyidikan.  Penyidikan dilakukan oleh penyidik, baik penyidik Polri maupun PPNS sebagai upaya menemukan bukti, guna membuat suatu perkara menjadi jelas/terang dan untuk mengungkap atau menemukan tersangka kejahatan.
Pasal 1 butir (2) Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa : “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti guna membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya”. Berdasarkan pasal ini, penyidik Polri maupun PPNS yang menangani kasus tindak pidana harus  melakukan pengumpulan bukti dengan berbagai cara yang sesuai dengan kewenangannya.  Pengumpulan bukti ini bertujuan untuk menemukan kebenaran materiil tentang suatu tindak pidana sesuai dengan unsur-unsur pasal tindak pidana yang dipersangkakan kepada tersangka.



Hukum Pembuktian
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian.  KUHAP hanya memuat peran pembuktian sebagaimana tersebut dalam pasal 183 yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hal ini berarti bahwa untuk meyakinkan hakim dalam proses peradilan pidana, seorang penyidik harus mampu memperoleh minimal dua alat bukti yang sah yang menunjukkan kebenaran tentang siapa pelaku  tindak pidana tersebut.
Berdasarkan pasal 183 KUHAP ini menunjukkan bahwa sistem pembuktian yang digunakan menganut teori pembuktian negative wettelijk.  Wettelijk berarti berdasarkan undang-undang, sedangkan negative berarti bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai undang-undang tetapi hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa.  Jadi hakim dalam memutuskan perkara, tidak sepenuhnya mengandalkan alat bukti tetapi harus disertai keyakinan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan suatu tindak pidana.  Keyakinan hakim dibentuk berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang bersesuaian satu dengan lainnya.  Sehingga dalam pembuktian benar-benar ditemukan kebenaran dan sedikit kemungkinan terjadinya salah putusan.
Alat bukti yang sah berdasarkan pasal 37 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,  adalah alat bukti sebagaimana dalam KUHAP yaitu pasal 184 (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa) dan alat bukti lainnya berupa informasi elektronik, dokumen elektronik dan atau peta.  Informasi elektronik adalah informasi  yang  diucapkan,  dikirimkan,  diterima,  atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.  Sedangkan dokumen elektronik adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,  benda  fisik  apa  pun  selain  kertas,  atau  yang terekam secara elektronik, berupa : a) tulisan, suara, atau gambar; b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan/atau c) huruf,  tanda,  angka, simbol,  atau  perforasi  yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Dalam KUHAP, selain istilah alat bukti, juga dikenal istilah barang bukti (corpus delicti).  Dari daftar alat-alat bukti yang sah yang dikemukakan di atas, tampak bahwa barang bukti tidak termasuk ke dalam salah satu alat bukti yang sah.  Dengan kata lain, barang bukti bukanlah alat bukti.  Pengertian barang bukti terdapat pada  Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.4/Menhut-II/2010 tentang Pengurusan Barang Bukti Tindak Pidana Kehutanan : ”Barang bukti tindak pidana kehutanan adalah segala benda yang patut diduga bersangkut paut dengan suatu tindak pidana kehutanan yang ditemukan di tempat  kejadian perkara maupun ditempat lainnya. Dalam hal.   Pasal ini bersesuaian dengan Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang  menyebutkan bahwa  benda  yang dapat disita adalah :
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,
Pemeriksaan terhadap corpus delicti dilakukan terlebih dahulu sebelum mendengar keterangan saksi.  Hal ini karena fakta tentang benar-benar telah terjadi suatu tindak pidana harus dipastikan terlebih dahulu baru dapat melangkah pada pembuktian mengenai siapa pelakunya.  Dalam membuktikan siapa pelaku tindak pidana, barang bukti harus menguatkan kedudukan alat bukti yang sah.  Misalnya  barang bukti chainsaw yang digunakan oleh tersangka dalam melakukan tindak pidana penebangan pohon dalam kawasan hutan.  Maka keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti harus dapat menunjukkan keterkaitan antara barang bukti dengan peristiwa pidana yang terjadi.  Jadi barang bukti merupakan “alat pembuktian” yang tidak dapat berdiri sendiri.

Pencapaian Indikator Keberhasilan Praktek
Output dari praktek mata diklat proses pemberkasan adalah berkas perkara.  Berkas perkara yang dihasilkan harus memenuhi syarat dari hukum pembuktian yaitu dapat meyakinkan hakim dalam menjatuhkan vonis kepada terdakwa karena terdapat fakta-fakta minimal dua alat bukti yang sah, dimana kedua alat bukti ini bersesuaian antara satu dengan lainnya.  Untuk mendapatkan berkas perkara yang seperti ini, maka hukum pembuktian harus terimplementasi dalam indikator keberhasilan mata diklat praktek proses pemberkasan.
Indikator keberhasilan dari praktek proses pemberkasan perkara ini adalah setelah melakukan kegiatan praktek, peserta mampu : 1). Menerapkan pasal yang tepat dalam Laporan Kejadian; 2). Melakukan pengolahan TKP; 3). Melakukan penindakan; 4). melakukan persiapan pemeriksaan dengan menyusun draft pertanyaan 7 Kah sesuai unsur pasal yang dilanggar; 5). Melakukan pemeriksaan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP); 6). melakukan pemberkasan; 7) menyerahkan berkas perkara tahap I dan II.
Dalam pelaksanaan praktek, peserta diklat dibagi menjadi 4 (empat) kelompok.  Masing-masing kelompok berperan sebagai tim penyidik yang akan melakukan proses pemberkasan suatu tindak pidana kehutanan. Setiap kelompok terdapat peserta yang penguasaan kompetensi pemberkasan perkara lebih tinggi dibanding dengan yang lain.  Peserta ini akan berperan sebagai tutor dalam kelompoknya, sehingga akan membantu proses pencapaian indikator keberhasilan praktek.
Berikut ini kami uraikan pencapaian masing-masing indikator keberhasilan dari praktek mata diklat proses pemberkasan :
1) Menerapkan pasal yang tepat dalam Laporan Kejadian (LK)
Penyidik dan atau PPNS mempelajari terlebih dahulu pasal pelanggaran yang tertulis dalam LK, apakah sudah atau belum sesuai dengan tindak pidana yang terjadi ?.   Untuk menyakinkan ketepatan dan kebenaran pasal pelanggaran yang diterapkan, penyidik dapat mendahulukan pemeriksaan terhadap saksi pelapor.  Contoh penulisan pada bagian peristiwa yang terjadi adalah :
Yang Terjadi  :    ”Melakukan kegiatan perkebunan tanpa Izin Menteri di dalam  hutan sebagaimana tersebut pada Pasal 92 ayat (1) huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan  atau Pasal 40 ayat (1) Jo Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya”

2) Melakukan pengolahan TKP
Berdasarkan laporan tentang terjadinya suatu tindak pidana, penyidik mempelajari fakta-fakta dalam LK, BAP di TKP dan Sket Lokasi TKP yang dibuat oleh Polhut pada saat TPTKP.  Fakta Tindak pidana kehutanan yang terjadi misalnya sebagai berikut :
Tindak pidana kehutanan yang terjadi adalah : perkebunan tanpa izin Menteri di dalam Kawasan Hutan sebagaimana tersebut dalam pasal 92 ayat (1) huruf b Jo pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan.
Waktu dan tempat kejadian : Selasa, 11 Agustus 2015 sekitar pukul 09.25 Wita di kawasan Hutan Lindung B.
Modus Operandi : Membuka lahan perkebunan dalam kawasan hutan lindung dengan menebang pohon.
Pelaku 2 orang dan  tidak ada saksi yang melihat.
Barang Bukti yang diserahkan : peralatan berkebun yaitu 1 (satu) buah parang , 1 (buah) cangkul, dokumentasi pondok kebun dan dokumentasi areal hutan lindung yang digarap
Berdasarkan fakta tersebut diatas, penyidik perlu melakukan olah TKP  terhadap :
Lokasi Kejadian : bersama dengan ahli dari BPKH mengambil titik koordinat di areal yang sudah dibuka untuk memastikan bahwa perkebunan tersebut berada dalam kawasan hutan lindung A berdasarkan SK Menteri Nomor berapa ?.
Modus Operandi : Mengidentifikasi apakah pembukaan lahan perkebunan dengan menebang pohon ? Catat jenis pohon yang ditebang, diameter tunggak dan titik koordinat masing-masing tunggak pohon yang ditebang. Jika betul terdapat pohon yang ditebang, dalam LK untuk bagian yang terjadi ditambahkan pasal penebangan pohon.
Barang Bukti : mengidentifikasi tanaman perkebunan yang ada di TKP mulai dari jenis tanaman perkebunan, umur tanaman dan tinggi tanaman. Mengidentifikasi sistem perkebunan yang dilakukan oleh pelaku, apakah tradisional atau modern.
Tahapan-tahapan dalam Olah TKP adalah :
1) Persiapan Olah TKP
Permintaan bantuan ahli kawasan hutan yaitu dari BPKH.
Permintaan bantuan dari ahli tanaman perkebunan.
Persiapan personil lainnya yang akan bergabung dalam TIM Olah TKP.
Persiapan sarana dan prasarana seperti GPS, Kamera, meteran, peta kawasan hutan, cat/pilox dll.
Apel persiapan Olah TKP.
2) Pelaksanaan Olah TKP
Catat waktu tiba dan kondisi cuaca di TKP.
Melakukan pengamatan secara umum TKP perkebunan dalam kawasan hutan
Melakukan pemotretan secara umum terhadap TKP perkebunan dalam kawasan hutan
Melakukan pemotretan terhadap semua aktifitas pengolahan TKP.
Melakukan pengambilan koordinat di empat persegi dari areal hutan yang sudah digarap.
Apabila betul ada pohon yang ditebang, lakukan penomoran tunggak pohon yang ditebang, yang dilanjutkan dengan pemotretan dan pengambilan titik koordinat  disetiap tunggak pohon.
Mencatat jenis tanaman perkebunan, jumlah pohon, umur dan tinggi tanaman perkebunan yang ada di TKP.  (penghitungan bisa dengan sampel oleh ahli tanaman perkebunan).
Tim ahli dari BPKH melakukan ploting pada peta kawasan hutan lindung A dan memastikan bahwa semua areal perkebunan yang sudah digarap beserta tunggak pohon yang ada terletak dalam kawasan hutan lindung A.
Meneliti sistem perkebunan yang diterapkan oleh pelaku, apakah masih tradisional atau sudah modern.
Mencatat semua data dan informasi yang diperoleh di TKP untuk kelengkapan Berita Acara.
Memeriksa catatan apakah hal penting yang ingin diketahui di TKP sudah diperoleh ? Yaitu : lokasi perkebunan di Kawasan Hutan Lindung A, Adanya Pohon yang ditebang di Areal perkebunan tersebut, jenis tanaman perkebunan dan sistem perkebunan tradisional atau modern.
3) Pengakhiran Olah TKP
Apabila berdasarkan analisa penyidik, Penyidik berkeyakinan bahwa bukti-bukti yang didapat di TKP sudah cukup, maka Ketua Tim Olah TKP memerintahkan untuk mengakhiri kegiatan Olah TKP.
Tindak lanjut Pengolahan TKP ini Petugas membuat Administrasi Olah TKP yang diperlukan dalam proses Penyidikan.
3) Melakukan penindakan
Penindakan dilakukan setelah penyidik menyampaikan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) kepada Penuntut Umum.  Setiap kegiatan penindakan harus disertai dengan surat perintah dan berita acara tindakan yang telah dilakukan.  Kegiatan penindakan meliputi : pemanggilan, penangkapan, penggeledahan dan penyitaan.
Pemanggilan harus dilakukan dengan surat pemanggilan yang sah sesuai dengan bentuk dan format yang sudah ditentukan. Surat panggilan ini akan dipergunakan untuk kelengkapan berkas perkara yang merupakan bagian dari administrasi penyidikan. Dalam surat panggilan harus disebutkan dengan jelas status orang yang dipanggil dan pasal yang dipersangkakan. Apabila dipanggil dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah (patut dan wajar), maka dapat dilakukan tindakan membawa dengan surat perintah membawa.
Penangkapan dilakukan atas dasar “Bukti Permulaan yang Cukup”, yaitu laporan kejadian ditambah dua alat bukti yang sah.  Tindakan penangkapan harus dilengkapi dengan surat perintah penangkapan dan berita acara penangkapan atau berita acara tertangkap tangan.
Penggeledahan dilakukan oleh Penyidik atas izin dari ketua Pengadilan Negeri.  PPNS Kehutanan saat ini sudah dapat melakukan penggeledahan sebagaimana tersebut dalam pasal 30 huruf f Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Penyitaan dilakukan setelah ada izin dari ketua pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak dapat melakukan penyitaan tanpa menunggu surat izin penyitaan, namun wajib segera melaporkannya guna memperoleh persetujuan ketua pengadilan negeri (Pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHAP). Dalam penyitaan dilakukan pemotretan dan dibuatkan tanda terima yang menyebutkan secara rinci tentang jumlah atau berat menurut jenis masing-masing
4) Melakukan persiapan pemeriksaan dengan menyusun draft pertanyaan 7 Kah sesuai unsur pasal yang dilanggar
Salah satu persiapan sebelum pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik adalah menyusun daftar pertanyaan untuk masing-masing sasaran pemeriksaan (Saksi, Tersangka atau Ahli) sesuai dengan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan.   Penyusunan daftar pertanyaan dilakukan dengan memperhatikan hukum pembuktian, yaitu kesesuaian antara barang bukti dengan tindak pidana yang terjadi, barang bukti dengan alat bukti dan alat bukti yang satu dengan alat bukti lainnya. Contoh :
Diperlihatkan kepada saudara barang bukti berupa 1 (satu) unit chainsaw.  Coba saudara ceritakan bagaimana saudara melakukan penebangan pohon dengan menggunakan chainsaw ini ?
Berdasarkan keterangan lelaki an.A, saudara menggunakan chainsaw ini dalam melakukan penebangan pohon di Kawasan Hutan Lindung A ? Jelaskan pendapat saudara !
5) Melakukan pemeriksaan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
Pemeriksaan dalam perkara tindak pidana kehutanan dilaksanakan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau barang bukti tentang unsur-unsur tindak pidana kehutanan yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas di dalam BAP.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan teknik wawancara,  interview, interogasi, konfrontasi dan elisitasi (yang diperiksa merasa dirinya sedang tidak ditanya).  Kelima cara ini digunakan atau disesuaikan dengan karakter orang yang diperiksa.  Hasil pemeriksaan dituliskan dalam BAP.  Bentuk BAP dapat berupa cerita atau pernyataan, tanya jawab dan gabungan keduanya.  Agar BAP tersebut memperkuat pembuktian tentang telah terjadinya tindak pidana kehutanan, maka BAP setidaknya memenuhi beberapa pertanyaan pokok antara lain :
1. Apa yang terjadi (tindak pidana apa yang terjadi)
2. Dimana terjadi tindak pidana tersebut
3. Kapankah waktu kejadian
4. Siapakah korban, saksi dan pelakunya.
5. Dengan alat apa pelaku melakukan tindak pidana tersebut
6. Bagaimana cara melakukan tindak pidana
7. Mengapa perbuatan pidana itu dilakukan
8. dll untuk memenuhi unsur pasal yang dipersangkakan
6) Melakukan Analisa Perkara
Analisa perkara dilakukan untuk menganalisa alat-alat bukti, tentang apakah alat bukti yang diperoleh dalam perkara ini sudah cukup bukti sesuai pasal 183 KUHAP “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Hasil analisa perkara akan memberikan gambaran atau kontruksi tindak pidana yang terjadi, tentang tindak pidana yang terjadi, unsur pasal yang dipersangkakan sudah cocok, wilayah hukum TKP, korban dan atau saksi yang menguntungkan atau merugikan, benda yang menjadi barang bukti dan peran masing-masing tersangka.
7) Menyusun Resume
Dari hasil analisa perkara tersebut, penyidik selanjutnya menyusun resume sebagai kesimpulan akhir  dari penanganan perkara, dengan menerapkan pasal pidana yang dipersangkakan pada masing-masing tersangka.  Resume yang disusun oleh penyidik harus menunjukkan pembuktian berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh selama proses penyidikan tindak pidana kehutanan sesuai dengan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan.
8) Melakukan pemberkasan
Pemberkasan dilakukan dengan menyusun berkas perkara sesuai dengan urutan-urutan lembaran kelengkapan administrasi penyidikan yang merupakan isi berkas perkara.


9) Menyerahkan berkas perkara tahap I dan II.
Pada tahap I, penyidik menyerahkan berkas perkara ke penuntut umum (Pasal 8 ayat (1) KUHAP).  Penuntut umum setelah menerima pelimpahan berkas dari penyidik wajib segera meneliti dan mempelajarinya dan dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik, apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap atau belum (Pasal 138 ayat (1) KUHAP). Apabila dalam tempo 14 hari sejak JPU  menerima berkas perkara tersebut tidak memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik, maka secara hukum berkas perkara tersebut dianggap sudah lengkap (Pasal 110 ayat (4) KUHAP). Apabila dari hasil penelitian JPU berpendapat bahwa berkas perkara tersebut belum lengkap atau tidak memenuhi syarat formil dan materil, JPU mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai dengan petunjuk yang harus dilengkapi (Pasal 138 ayat (2) KUHAP).
Namun apabila berkas tersebut sudah lengkap (P-21), penyidik selanjutnya melakukan penyerahan tahap II, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti.
Mencermati beberapa indikator keberhasilan dari mata diklat proses pemberkasan, maka dapat disimpulkan bahwa proses pemberkasan merupakan hasil akhir dari sebuah proses penyidikan tindak pidana.  Dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana, seorang penyidik harus cermat dalam mencari fakta-fakta yang menunjang pembuktian setiap unsur-unsur pasal yang dipersangkakan kepada tersangka.   Sehingga hakim menjatuhkan vonis kepada terdakwa karena memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

Pustaka :
Moeljanto. 2010. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Cetakan 20. Bumi Aksara. Jakarta.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh PPNS.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Redaksi Bumi Aksara, 1990. KUHAP Lengkap, Bumi Aksara, Jakarta, cet.ke-2.
Soeharto. 2014. Administrasi Penyidikan. Pusat Diklat Resintel Polri. Mega Mendung Bogor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar